Selasa, 29 November 2011

KAJIAN HADIST ARBAIN BAGIAN 4


Hadits 4: Nasib Manusia Telah Ditetapkan

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
[رواه البخاري ومسلم]
Terjemah Hadits / ترجمة الحديث :
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahuanhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan : Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.
(Riwayat Bukhori dan Muslim).
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
1. Allah ta’ala mengetahui tentang keadaan makhluknya sebelum mereka diciptakan dan apa yang akan mereka alami, termasuk masalah kebahagiaan dan kecelakaan.
2. Tidak mungkin bagi manusia di dunia ini untuk memutuskan bahwa dirinya masuk surga atau neraka, akan tetapi amal perbutan merupakan sebab untuk memasuki keduanya.
3. Amal perbuatan dinilai di akhirnya. Maka hendaklah manusia tidak terpedaya dengan kondisinya saat ini, justru harus selalu mohon kepada Allah agar diberi keteguhan dan akhir yang baik (husnul khotimah).
4. Disunnahkan bersumpah untuk mendatangkan kemantapan sebuah perkara dalam jiwa.
5. Tenang dalam masalah rizki dan qanaah (menerima) dengan mengambil sebab-sebab serta tidak terlalu mengejar-ngejarnya dan mencurahkan hatinya karenanya.
6. Kehidupan ada di tangan Allah. Seseorang tidak akan mati kecuali dia telah menyempurnakan umurnya.
7. Sebagian ulama dan orang bijak berkata bahwa dijadikannya pertumbuhan janin manusia dalam kandungan secara berangsur-angsur adalah sebagai rasa belas kasih terhadap ibu. Karena sesungguhnya Allah mampu menciptakannya sekaligus.

KAJIAN HADIST ARBAIN BAGIAN 3


HADIST 3
BAB RUKUN ISLAM

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ.[رواه الترمذي ومسلم ]

Terjemah hadits / ترجمة الحديث :Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khottob radiallahuanhuma dia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Islam dibangun diatas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan. (Riwayat Turmuzi dan Muslim)Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث:Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyamakan Islam dengan bangunan yang kokoh dan tegak diatas tiang-tiang yang mantap.Pernyataan tentang keesaan Allah dan keberadaannya, membenarkan kenabian Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam, merupakan hal yang paling mendasar dibanding rukun-rukun yang lainnya.Selalu menegakkan shalat dan menunaikannya secara sempurna dengan syarat rukunnya, adab-adabnya dan sunnah-sunnahnya agar dapat memberikan buahnya dalam diri seorang muslim yaitu meninggalkan perbuatan keji dan munkar karena shalat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar.Wajib mengeluarkan zakat dari harta orang kaya yang syarat-syarat wajibnya zakat sudah ada pada mereka lalu memberikannya kepada orang-orang fakir dan yang membutuhkan.Wajibnya menunaikan ibadah haji dan puasa (Ramadhan) bagi setiap muslim.Adanya keterkaitan rukun Islam satu sama lain. Siapa yang mengingkarinya maka dia bukan seorang muslim berdasarkan ijma’.Nash diatas menunjukkan bahwa rukun Islam ada lima, dan masih banyak lagi perkara lain yang penting dalam Islam yang tidak ditunjukkan dalam hadits. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“ Iman itu terdapat tujuh puluh lebih cabang “
Islam adalah aqidah dan amal perbuatan. Tidak bermanfaat amal tanpa iman demikian juga tidak bermanfaat iman tanpa amal .


Senin, 28 November 2011

KAJIAN HADIST ARBAIN BAGIAN 2


Hadits 2: Iman, Islam, dan Ihsan

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ .
[رواه مسلم]
Arti hadits / ترجمة الحديث :
Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “.
(Riwayat Muslim)
Catatan :
Hadits ini merupakan hadits yang sangat dalam maknanya, karena didalamnya terdapat pokok-pokok ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Hadits ini mengandung makna yang sangat agung karena berasal dari dua makhluk Allah yang terpercaya, yaitu: Amiinussamaa’ (kepercayaan makhluk di langit/Jibril) dan Amiinul Ardh (kepercayaan makhluk di bumi/ Rasulullah)
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
Disunnahkan untuk memperhatikan kondisi pakaian, penampilan dan kebersihan, khususnya jika menghadapi ulama, orang-orang mulia dan penguasa.
Siapa yang menghadiri majlis ilmu dan menangkap bahwa orang–orang yang hadir butuh untuk mengetahui suatu masalah dan tidak ada seorangpun yang bertanya, maka wajib baginya bertanya tentang hal tersebut meskipun dia mengetahuinya agar peserta yang hadir dapat mengambil manfaat darinya.
Jika seseorang yang ditanya tentang sesuatu maka tidak ada cela baginya untuk berkata: “Saya tidak tahu“, dan hal tersebut tidak mengurangi kedudukannya.
Kemungkinan malaikat tampil dalam wujud manusia.
Termasuk tanda hari kiamat adalah banyaknya pembangkangan terhadap kedua orang tua. Sehingga anak-anak memperlakukan kedua orang tuanya sebagaimana seorang tuan memperlakukan hambanya.
Tidak disukainya mendirikan bangunan yang tinggi dan membaguskannya sepanjang tidak ada kebutuhan.
Didalamnya terdapat dalil bahwa perkara ghaib tidak ada yang mengetahuinya selain Allah ta’ala.
Didalamnya terdapat keterangan tentang adab dan cara duduk dalam majlis ilmu.

Sabtu, 26 November 2011

KAJIAN 40 HADITS ARBAIN

KAJIAN 40 HADITS ARBAIN  
(Insya Allah bersambung) IKUTI TERUS !


Oleh : Abu Maulana Astri ( Sarsidi MD)

ِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
 مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:ومن


Hadits Al Arbain merupakan  hadits yang memuat intisari ajaran Islam.Hadits tersebut mencakup aqidah,ibadah,akhlak,dan muamalah.Menjadi suatu keharusan bagi setiap pribadi muslim untuk menelaah,memahami,dan mengamalkan hadist-hadits tersebut.Jumlahnya 42 hadits.Maka dinamakan Al Arbain.Pada kesempatan ini penulis postingkan satu demi satu beserta syarahnya dengan harapan agar dapat dengan mudah dipahami.Semoga hal ini dapat bermanfaat kepada saudara-saudaraku kaum muslimin dimanapun berada.
Hadist 1
Hadits 1: Bab Ikhlas
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]
Arti Hadits / ترجمة الحديث :
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang) .
Catatan :
Hadits ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam syafi’i berkata : Dalam hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu. Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota badan, sedangkan niat merupakan salah satu dari ketiganya. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa dia berkata : Hadits ini mencakup tujuh puluh bab dalam fiqh. Sejumlah ulama bahkan ada yang berkata : Hadits ini merupakan sepertiga Islam.
Asbabul wurud
Hadits ini ada sebabnya, yaitu: ada seseorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang wanita yang konon bernama : “Ummu Qais” bukan untuk mendapatkan keutamaan hijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).
Pelajaran yang terdapat dalam Hadits / الفوائد من الحديث :
Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).
Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.
Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shalih dan ibadah.
Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah.
Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
bersambung ke hadits 2.........!!!!!!
  

Jumat, 25 November 2011

KISAH ISTERI SOLIHAH

POTRET ISTERI MUKMINAH SHOLEHAH
Kisah  nyata yang diceritakan oleh : (Ukhti Annisa Azka Abiyyah)
Maka bagaimana aku tidak akan memperhatikanmu, sementara engkau adalah surga dan nerakaku, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam :
“Perhatikanlah sikapmu terhadapnya (suami), karena ia bisa menjadi surgamu dan nerakamu”(HR. Ibnu Saad, Ath-Thabrani, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al Jami’us Shaghir (1590))
Bismillaah..
Semoga bisa diambil manfaatnya oleh saudari-saudari muslimahku..
Sore itu… menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk disampingku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada pertanyaan itu.
“anti sudah menikah?”. “Belum mbak”, jawabku.
Kemudian akhwat itu .bertanya lagi “kenapa?” hanya bisa ku jawab dengan senyuman.. ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.
“mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya.
“nunggu suami” jawabnya.
Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya

“mbak kerja di mana?”, ntahlah keyakinan apa yg meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahu ku, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah salah satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya trsenyum.

Ukhti, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat.
“saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7 juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya.
Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali ukhti.

Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing.  Dan parahnya saya juga lagi pusing . Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata, “abi,umi pusing nih, ambil sendiri lah”.

Pusing membuat saya tertidur hingga lupa shalat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat  shalat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci.
Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi deman, tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk di luar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yg di usapnya.
“anti tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya.
Sekitar  600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya ,
ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah-mudahan umi ridha”, begitu katanya.
Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”, lanjutnya.
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelehkan suami.” Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.
“beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja . Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”

Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah,,apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.
“kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini besar.  Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah. Salah kakak juga sih, kalo ma jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.
“anti tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu.
Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya.
Bagaimana mungkin dia maremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia.
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud dimalam hari.
Bagaimana  mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya.
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan.
Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah dihadapnnya hanya karena sebuah pekerjaaan.
Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya.
Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya.
Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya.
Semoga saya tak lagi membantah perintah suami.
Semoga saya juga ridha atas besarnya nafkah itu.
Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan itu.
Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu.
Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal.
Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya.

“Semoga jika anti mendapatkan suami seperti saya, anti tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anti pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhti, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”.

Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku.Mengambil tas laptonya… bergegas ingin meninggalkannku. Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridha.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling baik dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatku  menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku..

Subhanallah..
Saudariku…semoga pekerjaan,harta, tak pernah menghalangimu untuk tidak menerima pinangan dari laki-laki yang baik agama dan akhlaknya..

Dan untuk para suami…semoga Allah memberikan ganjaran atas nafkah yang engkau berikan kepada keluarga yang kau cintai, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam :
”..Dan sesungguhnya, tidaklah engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari wajah Allah, melainkan engkau diberi pahala dengannya sampai apa yang engkau berikan kemulut istrimu akan mendapat ganjaran.” (Shahih, HR Al-Bukhari (no.1295( dan Muslim (no.1628), dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu’anhu).


PENDIDIKAN JAHILIYAH MODEREN DAN PENDIDIKAN ISLAM

ANTARA PENDIDIKAN JAHILIYAH MODEREN DAN PENDIDIKAN ISLAM
Bagian 1
Disadur dari  : www.eramuslim.com

Kita, Ummat Islam yang hidup di abad ini terlahir di tengah budaya jahiliyah. Sadar atau tidak sadar, kita tak dapat menghindarinya. Kita memang terlahir sebagai anak muslim karena orangtua kita juga muslim, namun apakah kita sudah ’di-Islam-kan’ dengan baik oleh orangtua kita? Dengan segala hormat kepada mereka yang sangat kita cintai, namun tetap saja harus diakui bahwa kita belum diberikan pengajaran, pemahaman dan pembiasaan sebagai muslim sejati. -Atau mungkin ada sebagian (kecil) diantara kita ada yang telah mendapatkannya dari orangtua mereka namun diperkirakan pastilah jumlahnya tak banyak-. Sejak lahir hingga besar kita sangat dipengaruhi budaya jahiliyah Indonesia dengan segala versinya, ada versi tradisonal Indonesia, versi modern barat, versi kombinasi dan lain-lain.

Dapat dikatakan budaya Indonesia saat ini sama sekali tidak mencerminkan statistik pemeluk Islam yang mayoritas. Jumlahnya memang banyak (meskipun kini semakin turun rasionya dibandingkan dengan non muslim), namun apa yang di yakini, di jalankan, bahkan dijadikan hukum sama sekali bukan Islam. Kita bahkan tak tahu apa itu Islam lebih dari sekedar definisi rukun Islam yang 5 dan rukun Iman yang 6. Kita hanya mengetahui ”narasi”nya, tanpa pemahaman apalagi internalisasi dan sibghah [1].

Ketika kita sendiri menjadi orangtua dan mulai sadar akan nilai Iman serta ingin memilikinya secara kaafah [2], kita menjadi bingung. Di saat itu kita baru menyadari betapa telah ’berjarak’nya antara kita sebagai muslim/muslimah dengan Islam sebagai jalan hidup. Kita mengaku muslim, namun tidak hidup secara Islami, tidak berpakaian secara Islami, tidak mencari nafkah (baca: berbisnis) secara Islami, bahkan tidak berpandangan yang Islami. Jadi di mana letak ’ke-Islam-an’ kita? Tidak ada, selain di KTP.

Saat tersentak dengan kenyataan ini, barulah kita mulai gelisah dan mulailah tergopoh-gopoh belajar Islam dari nol lagi; bahkan seringkali dengan cara yang serabutan. Tidak heran, sebab selain memang jarak antara kita dan turunnya wahyu terakhir sudah berbilang belasan abad, kitapun sudah kehilangan banyak contoh. Di antara waktu itu, bukan hanya Nabi SAW yang telah wafat, namun para sahabat, tabi’in bahkan tabi’it tabi’in [3] semua sudah tiada. Peninggalan merekapun seringkali hilang karena perang atau disembunyikan atau terlupakan. Kita yang hidup saat ini harus mengais-ngais peninggalan kuno seraya mencoba mengartikannya dengan situasi zaman kita. Belum lagi kendala bahasa dan budaya. Situasi ini menimbulkan berbagai komplikasi penyakit ummat selain wahn, misalnya penyakit isti’jal, tasyaddud, tasahul, jumud dan lain-lain.

Sebagian dari kesulitan kita juga disebabkan karena sudah ter-kooptasi-nya banyak tokoh yang dianggap ’ulama Islam’, bahkan lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah berganti rupa menjadi sistem yang se-pola dangan sistem pendidikan jahiliyah, sehingga kita kehilangan tempat bertanya. Bagaikan anak ayam kehilangan induk.

Ketika seseorang menjadi orangtua, menurut para pakar psikologi ia akan cenderung mengambil pola pendidikan yang sama yang ia terima dari orangtua-nya. Kadang bagaikan copy-paste, sama persis tanpa di edit lagi. Jika si orangtua berpola permisif, si anak cenderung juga permisif terhadap anaknya sendiri. Selain gaya/pola pendidikan, kadang isinya-pun diambil tanpa di-edit lagi, terutama isi/konten moral (baca akhlaq) dan nilai-nilai luhur (agama/jalan hidup). Isi/konten dalam hal pengetahuan/ knowledge mungkin sudah diperbaharui atau ditambah sesuai zamannya, namun perilaku moral maupun nilai-nilai yang dijunjung tinggi diterima dan digunakan tanpa mempertanyakan apapun sama sekali. Jika kebetulan orangtua kita belum mengenal Islam, belum menjadikan Islam sebagai landasan/jalan hidup, maka kita-pun akan terjebak untuk mendidik anak-2 kita sebagaimana kita sendiri dididik dalam budaya jahiliyah.

Banyak sekali orangtua muslim masa kini seolah hanya mengulangi sejarah hidupnya sendiri. Jika ada yang menggugat mengapa demikian maka alasan kuno yang dikemukakan bahkan amat mirip dengan yang ada disindir dalam Al Qur’an: ”Kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami”. Pengecualian hanya pada segelintir orang yang di Rahmati Allah dan mendapat petunjuk yang Benar.

Inilah yang kita -para orangtua yang ingin menegakkan Islam kembali dalam diri dan keluarganya- harus hadapi ketika kita harus mencari sekolah yang cocok bagi anak-anak kita, ketika kita coba melakukan riset pola asuh mana yang terbaik dan lain sebagainya, maka 99% yang akan kita temui adalah metode pendidikan yang layak dianggap sampah dalam khazanah Islam. Pendidikan yang akan tampak baik di kulit luar, namun cepat atau lambat akan segera menunjukkan kebobrokannya sendiri. Sebagian merupakan warisan leluhur, sebagian lagi merupakan budaya impor dari luar dan sebagian lagi merupakan hasil rekayasa baru yang mengada-ada. Memang mungkin ada yang membawa satu atau dua nilai-nilai Islam, namun jika hal-hal yang mendasar (aqidah) tidak dijadikan sebagai landasannya, maka teori pendidikan anak yang manapun pada hakekatnya adalah sampah. Kesulitan mendapatkan sampel yang baik, mendapatkan metode yang tepat dan mendapatkan acuan yang benar, semua merupakan masalah nyata bagi ummat Islam di seluruh dunia.

Apa yang akan terjadi pada orang-orang seperti kita? Sebagian akan terus mencari sampai dapat ketenangan dengan resep-resep pilihannya yang dipilih dengan hati-hati dan penuh perjuangan, sebagian hanya berpikir sebentar kemudian mengambil jalan pragmatis: yaitu menyerahkan pilihan kepada tokoh yang menurut mereka adalah tokoh Islam teladan dan kemudian mulai memasang ”mode’ JUMUD atau asal ikut (sebuah penyakit yang cukup berbahaya di masa kini). Atau sekedar merasa cukup dengan menyerahkan anak kepada sekolah/lembaga pendidikan yang berlabel ”Islami”. Dan sebagian lagi kemudian salah arah dan terkecoh oleh ”du’at ila abwaabi jahannam” (para da’i yang memanggil ke pintu-pintu neraka) yang menyesatkan kini juga sedang aktif berperan dengan baju dan bahasa yang seolah sama dengan da’i yang jujur namun dengan hasil yang bertolak belakang. Merasa sudah berada di jalan yang benar dengan sangat yakin, padahal sebenarnya sedang terseret ke neraka. Na’udzu billahi min dzalik.

ANTARA PENDIDIKAN JAHILIYAH MODEREN DAN PENDIDIKAN ISLAM
Bagian 2

Negara ini (Indonesia) dalam peringkat negara-negara di dunia saat ini masih dikatagorikan sebagai ’negara yang sedang berkembang’. Indonesia belum dianggap sebagai negara maju karena dianggap belum dapat menerapkan seluruh sistem jahiliyah secara 100%. Di dunia sekarang ini, kasta negara-negara ditentukan oleh sederet angka sebagai tolok ukur. Angka-angka tersebut sebenarnya merupakan angka-angka mati yang bisa saja berarti baik atau buruk tergantung bagaimana mengartikannya. Namun angka-angka tersebut kemudian dimunculkan untuk menciptakan pencitraan tertentu sebagaimana yang dikehendaki oleh pemakainya. Angka kematian penduduk (salah satu tolok ukur) masih tinggi, angka korupsi masih termasuk ranking sepuluh besar, income per-kapita masih rendah dan perolehan pajak masih kecil dan sejumlah tolok ukur jahiliyah lainnya, baik yang dapat dikatagorikan termasuk ma’ruf atau mungkar secara Islam maupun jelek atau bagus menurut nilai jahiliyah sendiri.

Di negeri ini, dalam masalah pendidikan, kasus kisruh UAN merupakan contoh yang menarik untuk kita analisa baik dengan kacamata Islam maupun tolok ukur jahiliyah. Sebagaimana diketahui, UAN diadakan dengan maksud melakukan standardisasi mutu pendidikan. Karena dilakukan dengan semangat ”terburu-buru karena takut di cap sebagai negera terbelakang”, maka UAN diberlakukan sebelum pembenahan seluruh sekolah di seluruh Indonesia di lakukan. Standardisasi dulu, benahi kemudian Kisruh-pun terjadi. Tidak meratanya kesempatan pendidikan di berbagai daerah dan kota menjadi mencolok pada tahun awal UAN. Ada banyak daerah dan sekolah yang angka gagalnya sangat tinggi seolah guru-guru mereka sama sekali tidak mengajarkan apa-apa selama anak didik bersekolah. Para kanwil pendidikan merasa malu karena wilayahnya di cibiri Pusat dan kemudian balik menekan pihak sekolah dan menyalahkan mereka tidak serius mendidik. Pihak sekolah meradang karena selama ini fasilitas amat minim dan problema gaji merupakan masalah kronis. Input dan output sebenarnya sesuai dengan rumus, namun tidak sesuai ”pesanan’ dan ”keinginan” Pusat. Tahun berikutnya sudah dapat dipastikan yang muncul adalah fenomena bocor UAN merebak. Semua pihak, baik itu anak murid, guru, sekolah, kanwil diknas dst ingin mendapatkan atau melihat hasil yang bagus. Oleh karena realitanya belum dapat dicapai dengan jujur, maka bermain curang merupakan keharusan.

Penulis pernah menyekolahkan anak di wilayah luar Jakarta (pesantren). Pada akhir tahun ajaran, setelah pengumuman UAN, pak guru terpaksa ”buka kartu” dihadapan para orangtua bahwa sebelum UAN sekolah mereka diajak oleh diknas setempat untuk gotong royong bersama para guru sekolah lain untuk mendongkrak peringkat wilayah dengan cara para gurulah yang melakukan koreksi (sebelum dikumpulkan ke panitia UAN) kertas UAN anak didik. Para guru memperbaiki jawaban-jawaban yang salah dari para murid berdasarkan kunci jawaban dan berdasarkan pengetahuan si guru. Sekolah pesantren ini menolak, sebagai akibatnya, selain dikucilkan, sejumlah muridpun jatuh di nilai UAN dan bahkan peringkat sekolah mereka jatuh di bawah sekolah lain se-wilayah tsb padahal selama ini pesantren tersebut dikenal sebagai sekolah terbaik di sana. Tragis, ketika ada guru yang berusaha berpegang pada nilai-nilai kejujuran, anak murid dan sekolahnya malah menjadi korban. Ini sangat sesuai dengan hadis yang memperediksi keadaan di akhir zaman dimana orang baik dijatuhkan dan orang jahat dianggap baik. Sampai saat ini sinetron UAN masih berlangsung. Tahun ini bahkan percetakan soal UAN sudah terdeteksi ada yang menjual soal UAN, keuntungan tambahan di luar dari tender mencetak soal UAN. Siapa lagi yang peduli bagaimana mutu pendidikan anak-anak kita?


ANTARA PENDIDIKAN JAHILIYAH MODEREN DAN PENDIDIKAN ISLAM
BAGIAN 3
Beberapa Persoalan Mendasar Yang Ada

(1) Pertama adalah soal paradigma pendidikan.

Pendidikan jahiliyah berlandaskan paradigma sukses materialisme. Semua yang dianggap sebagai ”achievement” bersifat kuantitatif atau dikuantitatifkan. Anak sukses jika dapat gelar sarjana, anak sukses jika dapat kerja dengan gaji tinggi, rumah mewah, mobil mewah dlsb tolok ukur kebendaan. Anak sholeh dianggap abstrak dan utopia. Berapa nilai pemahamannya terhadap hidup, kedalaman Imannya dan keindahan akhlaqnya tak perlu dipedulikan, selama nilai-nilai kebendaan belum terpenuhi. Benda dulu, baru yang lain. Orang pandai (sarjana) yang kaya dan santun....sangat dihormati. Yang pandai tapi kurang ajar-pun di berikan tempat lebih baik daripada yang ’biasa-biasa-saja” namun berakhlaq mulia.

Paradigma mendasar tentang kesuksesan orang beriman melampaui batas hidup dan mati, melampaui batas dunia, rujukannya: 3:185[1]. Ya, jika kita sudah sampai ’di sana’, maka siapa lagi yang akan membantah kesuksesan kita? Ayah dan ibu barulah dapat merasa sukses tanpa ragu jika telah berhasil mengantarkan anaknya ke sana. Sepintas ini akan dianggap utopia/mimpi, sebab ”hasil”nya tak dapat dilihat sekarang....BETUL 100%. Memang hasil pendidikan yang baik bukan untuk dilihat orang lain, namun untuk dinilai Allah SWT. Kapan kita tahu itu berhasil atau tidak? Ya nanti jika sudah di akhirat. Sebelum itu, tak ada orangtua maupun pendidik yang boleh merasa tenang dan puas dan menganggap dirinya telah berhasil. Kita sebagai orangtua maupun guru harus selalu dalam keadaan waspada bahwa kita masih harus terus memperbaiki diri dan metode kita dalam memberikan pendidikan kepada anak. Paradigma sukses di QS 3:185 bukan hanya penting di akhirat dan berarti di dunia kita tidak perlu mendapatkan apa-apa, sebab di atas dunia ini kita juga harus mewujudkan kekuasaan Allah (sebagai khalifah Allah di atas dunia) dan kita ummat Islam harus merangkainya dalam amal-amal bermanfaat.
(2) Persoalan kedua adalah persoalan standar penilaian yang selain mereduksi nilai-nilai yang utuh juga melakukan kompartementalisasi dan sekularisasi.

Cara penilaian sistem pendidikan jahiliyah adalah dengan meredusir nilai- yang utuh menjadi nilai-nilai kuantitatif yang kosong makna. Rangking ke 1 di kelas yang mayoritas bodoh adalah anak terpandai diantara yang bodoh. Rangking terbawah di kelas unggulan adalah anak yang masih di atas rata-rata statistik. Angka hanya menampilkan skala yang kaku dari kemampuan anak, angka sangat dipengaruhi oleh situasi kondisi saat penilaian dengan angka tsb dilakukan (ujian atau ulangan). Apa yang dinilai merupakan sebagian kecil saja dari apa yang keseluruhan. Apakah yang dinilai tsb dapat mewakili kualitas sesungguhnya dari intelektualitas anak? Dengan meredusir penilaian yang utuh tentang seorang anak menjadi sederet angka rapor, kualitas moral, kualitas pemahaman, kualitas interaksi sosial anak tak lagi dapat di’baca’.

Kesenjangan antara penilaian di ruang kelas dengan apresiasi lapangan pekerjaan merupakan bukti nyata problem ini. Sekian banyak angkatan kerja yang S1 tak terserap lapangan pekerjaan. Sementara ada saja yang non sarjana dapat melakukan sesuatu yang bahkan menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain ( para enterpreneur). Apalagi jika kita coba menilai hasil pendidikan jahiliyah tsb dengan timbangan nilai moral agama. Berapa banyak para sarjana S1, 2, 3 bahkan profesor malah memberi contoh akhlaq buruk. Profesor selingkuh dengan sesama profesor, doktor yang melakukan plagiat, mengajak kepada dosa dan kemunkaran dlsb. Itu semua merupakan cerita lama. Penilaian intelektualitas yang ada sama sekali tidak melibatkan aspek lain selain kemampuan berpikir di bidang tertentu.

Sudah menjadi anekdot umum bahwa profesor adalah orang yang pelupa dan seringkali bertingkah bodoh. Adakah seorang Ulama mumpuni akan bertingkah ”absent minded?” sebagaimana ”absent minded professors? Sebab setiap proesor mendapat gelarnya yang tertinggi tersebut hanya untuk penilaian atas salah satu dari sejumlah besar cabang ilmu yang ada. Seorang prof yang membacakan pidato pengukuhan di bidang eksakta, isi pidatonya bisa sangat menggelikan ketika ia sedang menyebutkan apa rekomendasi/ kontribusi ilmunya untuk masyarakat luas (bidang sosial kemasyarakatan). Terasa kedangkalan berpikir di bidang yang bukan bidangnya. Ulama bukanlah ulama jika ia hanya mengusai salah satu saja cabang Ilmu Islam. Seorang yang boleh berfatwa hanyalah yang mampu meninjau seluruh aspek yang berkaitan dengan persoalan yang sedang dibahas.

Pandangan hidup sekularis dan serba terpecah-lah yang telah menyebabkan standar penilaian pendidikan jahiliyah menjadi kosong nilai yang utuh. Bagaimana seseorang hanya dinilai untuk aspek-aspek kecil dari keseluruhan dirinya dan melupakan nilai yang utuh. Persoalan kompartementalisasi dan sekularisasi merasuk ke seluruh bidang kehidupan. Bidang pendidikan kedokteran mencetak para dokter spesialis yang seringkali mereka ”mengeroyok” pasien yang sudah ”komplikasi” dengan sejumlah obat resep masing-masing. sehingga seorang dengan penyakit menjadi konsumen sejumlah obat para spesialis yang saling bertentangan cara kerjanya. Masing-masing dokter spesialis hanya mementingkan bagian tubuh yang merupakan bidang spesialisasinya, padahal yang menjadi obyek adalah SATU orang manusia dengan sistem tubuh yang saling berkaitan. Jika kita merujuk pasien yang sama kepada herbalis yang berdasarkan thibbun Nabawi [2], maka mungkin segera dapat diketahui bahwa semua penyakit orang tersebut bersumber pada satu organ saja, yaitu perut. Bidang farmasi menghasilkan sejumlah obat kimia hasil ekstrak yang telah meniadakan keseimbangan bahan herbal yang di ekstrak sehingga efek sampingnya menjadi besar. Apa bidang yang tidak di kompertementalisasikan ? Semua bidang dibangun sekat-sekatnya, pembagian-pembagiannya, sehingga keseimbangan dalam harmonisasi keutuhan menghilang. Orang mulai merindukan untuk menjadi ”manusia se-utuhnya” tanpa tahu lagi bagaimana caranya.

Keseimbangan alam telah lama terusik dan kini nyata-nyata telah menjadi korban kebodohan dan kezaliman manusia. Pemanasan global merupakan kisah tragis kemajuan ilmu pengetahuan yang di bangga-banggakan dunia barat. Penemuan brillian atas bahan CFC (freon), plastik, teknologi nuklir dll merupakan bukti nyata zholuman jahula[3]-nya manusia. Masih terlalu banyak contoh yang tak disebutkan di sini, contoh di bidang kemajuan ilmu pertanian, genetika, antariksa dll.

(keterangan gambar: melelehnya lapisan demi lapisan es kutub)

Sebenarnya sejak akhir abad 19 awal abad 20 sudah ada sejumlah manusia dari masyarakat kafir jahiliyah yang mengkritisi kemajuan yang belum seberapa saat itu, yaitu para pem-protes revolusi Industri. Misalnya filsafat eksitensialisme. Meskipun kritikan mereka masih sebatas kulit masalah dan ungkapan keresahan belaka, bahkan sebagian dari mereka jelas-jelas tersesat menjadi ateis nyata, namun kegelisahan jiwa manusia sudah terdeteksi sejak lama. Saat itu, mayoritas umat Islam belum terlalu terpengaruh kemajuan ilmu barat sebab belum terlalu ”modern”.

(3) Persoalan lain dari sistem pendidikan jahiliyah modern adalah masalah proses belajar mengajar secara klasikal massal.

Kelas menjadi ruang-ruang peng-generalisasi individu anak didik. Bekerja sama dengan sistem penilaian kuantitatif, penegakkan dinding ruang kelas telah menghilangkan kemampuan anak didik melihat dunia nyata. Simulasi persoalan yang disederhanakan agar dapat dibungkus dan di bawa ke ruang kelas telah menyebabkan ada jarak antara pengajaran teori dengan pemahaman realita. Khusus Indonesia kita, sistem soal jawab yang sering mengandalkan multiple choice telah memunculkan bisnis bimbel dengan sukses. Cara seperti ini telah dengan amat berhasil membungkus berbagai soal jawab dalam lingkup kurikulum yang melebar (seolah banyak, dan memang banyak topiknya, namun dangkal pemahaman).

Kita, orangtua sangat kagum betapa anak-anak kita telah disuguhkan soal dari topik bahasan matematika yang biasa diberikan di tingkat dua fak teknik justru ketika anak kita masih kelas dua SMA. Seolah ada kemajuan beberapa tahun. Tapi apakah lompatan ini bermanfaat? Itu soal lain, yang penting ketika evaluasi kurikulum dilakukan, para pembuat kurikulum dapat dengan bangga mengatakan bahwa mereka telah ”advance” dalam mendidik murid dengan materi bahasan yang lebih tinggi. Benarlah anak murid dapat menjawab dengan pilihan jawaban yang benar, sebab mereka telah pernah diberikan soal bahasan tsb dalam bentuk bahasan soal multiple choice, bukan dalam konteks topik tsb sebenarnya berada. Anak tinggal menghafalkan apa jawaban yang benar. Seorang anak kelas 3 SMA di sekolah terpadu dalam 3-6 bulan terakhir tak lagi diberikan materi pelajaran yang utuh. 3-6 bulan terakhir mereka hanya bertugas menjawab ribuan soal jawab multiple choice yang terlepas-lepas dari topik bahasan masing-masing. Bahkan ada yang mengadakan program pesantren kilat bimbel, tempat murid dikarantina selama 1 bulan untuk menjawab ribuan soal sambil dipompa motivasi ”belajar”nya dengan berbagai teknik training motivasi layaknya seorang calon manajer kantoran. Saya melihatnya sebagai sebuah kamp konsentrasi untuk cuci otak, dan untuk itu ortu harus bayar jutaan rupiah.

Dengan meredusir setiap topik bahasan kedalam sejumlah soal multiple choce, para pembuat kurikulum telah berhasil mendapatkan evaluasi ”baik” (secara statistik dan kuantitatif) dari pencapaian murid di ruang kelas yang massal. Dalam ruang kelas seperti ini, seorang murid tak perlu berkonsentrasi secara penuh saat belajar, dalam kelas ada waktu untuk main HP, main game, dan bercanda bahkan melamun dan tidur, sebab kesuksesannya dapat dikejar nanti, saat ia habis-habisanan menghafal huruf a,b,c,d yang mewakili jawaban yang benar. Mengapa demikian? Mengapa ketika beban kurikulum ditambah anak murid malah lebih banyak kesempatan bermain dalam kelas? Alasannya karena cara belajar seperti ini pada hakekatnya tidak menambah kecerdasan. Murid tidak dibuat tambah pandai berpikir, dan mereka tak perlu bekerja keras berpikir. Cukup melibatkan proses berbikir sederhana yaitu mix and match antara soal dan huruf (abcd) yang mewakili jawaban yang benar. Ini proses pengenalan sederhana yang anak TK-pun sudah mampu mencapainya dengan kapasitas otak mereka. Sebagaimana soal jawab di buku TK, hanya saja anak SMA bukannya harus melakukan mix and match antara badan ayam dan dan kaki ayam, badan sapi dan kaki sapi, tapi antara soal tsb dengan jawabannya.

Bagaimana jawaban tsb sampai kesana, itu tak lagi penting. Persis anak TK yang tak perlu tahu bahwa sapi adalah mamalia dan ayam adalah aves. Yang penting adalah anak murid harus menghafal sebanyak-banyaknya soal jawab, dan semua itu hanya untuk mengisis angka raport. Setelah nilai-nilai ujian dan raport dibagikan, anak murid-pun tak akan ingat lagi semua soal jawab itu sama sekali. Bagaimana mungkin ingat jika mereka hanya menghafal soal jawab tanpa mengerti apa yang dibicarakan?