Sabtu, 21 Juli 2012

MENENTUKAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN SESUAI SUNNAH


CARA PENENTUAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN WAJIB DENGAN RU’YATUL HILAL BUKAN DENGAN ILMU HISAB/ASTRONOMI
Oleh : Abu ASTRI

Islam, dalam banyak ayat dan hadits, senantiasa mengumandangkan pentingnya ilmu sebagai landasan berucap dan beramal. Maka bisa dibayangkan, amal tanpa ilmu hanya akan berbuah penyimpangan. Kajian berikut berupaya menguraikan beberapa kesalahan berkait amalan di bulan Ramadhan. Kesalahan yang dipaparkan di sini memang cukup ‘fatal’. Jika didiamkan terlebih ditumbuhsuburkan, sangat mungkin akan mencabik-cabik kemurnian Islam, lebih-lebih jika itu kemudian disirami semangat fanatisme golongan.
Penggunaan Hisab Dalam Menentukan Awal Hijriyyah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan bimbingan dalam menentukan awal bulan Hijriyyah dalam hadits-haditsnya, di antaranya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan Ramadhan, maka beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka (berhenti puasa dengan masuknya syawwal, -pent.) sehingga kalian melihatnya. Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan hadits yang semacam ini cukup banyak, baik dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim maupun yang lain.
Kata-kata فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah) menurut mayoritas ulama bermadzhab Hanbali, ini dimaksudkan untuk membedakan antara kondisi cerah dengan berawan. Sehingga didasarkannya hukum pada penglihatan hilal adalah ketika cuaca cerah, adapun mendung maka memiliki hukum yang lain.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, artinya: “Lihatlah awal bulan dan genapkanlah menjadi 30 (hari).”
Adapun yang menguatkan penafsiran semacam ini adalah riwayat lain yang menegaskan apa yang sesungguhnya dimaksud. Yaitu sabda Nabi yang telah lalu (maka sempurnakan jumlah menjadi 30) dan riwayat yang semakna. Yang paling utama untuk menafsirkan hadits adalah dengan hadits juga. Bahkan Ad-Daruquthni meriwayatkan (hadits) serta menshahihkannya, juga Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dari hadits Aisyah:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُوْمُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ
“Dahulu Rasulullah sangat menjaga Sya’ban, tidak sebagaimana pada bulan lainnya. Kemudian beliau puasa karena ru`yah bulan Ramadhan. Jika tertutup awan, beliau menghitung (menggenapkan) 30 hari untuk selanjutnya berpuasa.” (Dinukil dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar)
Oleh karenanya, penggunaan hisab bertentangan dengan Sunnah Nabi dan bertolak belakang dengan kemudahan yang diberikan oleh Islam.
أَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ
“Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al-Baqarah: 61)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِيْنُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata: ‘Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Dan tidak seorangpun memberat-beratkan dalam agama ini kecuali ia yang akan terkalahkan olehnya. Maka berusahalah untuk benar, mendekatlah, gembiralah dan gunakanlah pagi dan petang serta sedikit dari waktu malam’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabul Iman Bab Ad-Dinu Yusrun)
Sebuah pertanyaan diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah atau Dewan
Fatwa dan Riset Ilmiah Saudi Arabia:
Apakah boleh bagi seorang muslim untuk mendasarkan penentuan awal dan akhir puasa pada hisab ilmu falak, ataukah harus dengan ru`yah (melihat) hilal?
Jawab: …Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membebani kita dalam menentukan awal bulan Qomariyah dengan sesuatu yang hanya diketahui segelintir orang, yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Padahal nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah yang ada telah menjelaskan, yaitu menjadikan ru`yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasa kaum muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian juga dalam menetapkan Iedul Adha dan hari Arafah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“…Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قٌلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya tentang hilal-hilal. Katakanlah, itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk haji.” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian. Jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Namun jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah menjadi 30.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tetapnya (awal) puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka (mengakihiri Ramadhan) dengan melihat hilal Syawwal. Sama sekali Nabi tidak mengaitkannya dengan hisab bintang-bintang dan orbitnya (termasuk rembulan, -pent.). Yang demikian ini diamalkan sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Khulafa` Ar-Rasyidin, empat imam, dan tiga kurun yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.
Oleh karena itu, menetapkan bulan-bulan Qomariyyah dengan merujuk ilmu bintang dalam memulai awal dan akhir ibadah tanpa ru`yah adalah bid’ah, yang tidak mengandung kebaikan serta tidak ada landasannya dalam syariat….” (Fatwa ini ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan. Lihat Fatawa Ramadhan, 1/61)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Tentang hisab, tidak boleh beramal dengannya dan bersandar padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Tanya: Sebagian kaum muslimin di sejumlah negara, sengaja berpuasa tanpa menyandarkan pada ru`yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk (mereka berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal maka jika mereka tertutup olah awan hendaknya menyempurnakan jumlahnya menjadi 30) -Muttafaqun alaihi-
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu adalah demikian, demikian, dan demikian.” –beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan–: “Bulan itu begini, begini, dan begini –serta mengisyaratkan dengan seluruh jemarinya–.”
Beliau maksudkan dengan itu bahwa bulan itu bisa 29 atau 30 (hari). Dan telah disebutkan pula dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 (hari).”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya):
“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah. Dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.”
Masih banyak hadits-hadits dalam bab ini. Semuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru`yah, atau menggenapkannya jika tidak memungkinkan ru`yah. Ini sekaligus menjelaskan tidak bolehnya bertumpu pada hisab dalam masalah tersebut.
Ibnu Taimiyyah1 telah menyebutkan ijma’ para ulama tentang larangan bersandar pada hisab dalam menentukan hilal-hilal. Dan inilah yang benar, tidak diragukan lagi. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)
Pembahasan lebih rinci tentang hisab bisa dilihat kembali dalam Asy-Syariah edisi khusus Ramadhan tahun 2004.
Imsak sebelum Waktunya
Imsak artinya menahan. Yang dimaksud di sini adalah berhenti dari makan dan minum dan segala pembatal saat sahur. Kapankah sebetulnya disyariatkan berhenti, ketika adzan tanda masuknya subuh atau sebelumnya, yakni adzan pertama sebelum masuknya subuh? Karena dalam banyak hadits menunjukkan bahwa subuh memiliki dua adzan, beberapa saat sebelum masuk dan setelahnya.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Masalah ini, di mana banyak orang (meyakini) bahwa makan di malam hari pada saat puasa diharamkan sejak adzan pertama2 (yakni sebelum masuknya waktu subuh), yang adzan ini mereka sebut dengan adzan imsak, tidak ada dasarnya dalam Al-Qur`an, As-Sunnah dan dalam satu madzhabpun dari madzhab para imam yang empat. Mereka semua justru sepakat bahwa adzan untuk imsak (menahan dari pembatal puasa) adalah adzan yang kedua yakni adzan yang dengannya masuk waktu subuh. Dengan adzan inilah diharamkan makan dan minum serta melakukan segala hal yang membatalkan puasa. Adapun adzan pertama yang kemudian disebut adzan imsak, pengistilahan semacam ini bertentangan dengan dalil Al-Qur`an dan Hadits. Adapun Al-Qur`an, maka Rabb kita berfirman –dan kalian telah dengar ayat tersebut berulang-ulang–…
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مَنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Ini merupakan nash yang tegas di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala membolehkan bagi orang-orang yang berpuasa yang bangun di malam hari untuk melakukan sahur. Artinya, Rabb kita membolehkan untuk makan dan mengakhirkannya hingga ada adzan yang secara syar’i dijadikan pijakan untuk bersiap-siap karena masuk waktu fajar shadiq (yakni masuknya waktu subuh, -pent.). Demikian Rabb kita menerangkan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan makna ayat yang jelas ini dengan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi mengatakan:
لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ
“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan di waktu malam.”3
Dalam hadits yang lain selain riwayat Al-Bukhari dan Muslim:
لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ لِيَقُوْمَ النَّائِمُ وَيَتَسَحَّرُ الْمَتَسَحِّرُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan untuk membangunkan yang tidur dan untuk menunaikan sahur bagi yang sahur. Maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum melantunkan adzan4….” (Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 344-345)
Ibnu Hajar (salah satu ulama besar madzhab Syafi’i) dalam Fathul Bari syarah Shahih Al-Bukhari (4/199) juga mengingkari perbuatan semacam ini. Bahkan beliau menganggapnya termasuk bid’ah yang mungkar.
Oleh karenanya, wahai kaum muslimin, mari kita bersihkan amalan kita, selaraskan dengan ajaran Nabi kita, kapan lagi kita memulainya (jika tidak sekarang)? (Lihat pula Mu’jamul Bida’ hal. 57)
Di sisi lain, adapula yang melakukan sahur di tengah malam. Ini juga tidak sesuai dengan Sunnah Nabi, sekaligus bertentangan dengan maksud dari sahur itu sendiri yaitu untuk membantu orang yang berpuasa dalam menunaikannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَكِّرُوا بِاْلإِفْطَارِ، وَأَخِّرُوا السَّحُوْرَ
“Segeralah berbuka dan akhirkan sahur.” (Shahih, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1773)
عَنْ أَبِي عَطِيَّةَ قَالَ: قُلْتُ لِعَائِشَةَ: فِيْنَا رَجُلاَنِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَحَدُهُمَا يُعَجِّلُ اْلإِفْطَارَ وَيُؤَخِّرُ السُّحُوْرَ، وَاْلآخَرُ يُؤَخِّرُ اْلإِفْطَارَ وَيُعَجِّلُ السُّحُوْرَ. قَالَتْ: أَيُّهُمَا الَّذِي يُعَجِّلُ اْلإِفْطَارَ وَيُؤَخِّرُ السُّحُوْرَ؟ قُلْتُ: عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُوْدٍ. قَالَتْ: هَكَذَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ
Dari Abu ‘Athiyyah ia mengatakan: Aku katakan kepada ‘Aisyah: Ada dua orang di antara kami, salah satunya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, sedangkan yang lain menunda berbuka dan mempercepat sahur. ‘Aisyah mengatakan: “Siapa yang menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur?” Aku menjawab: “Abdullah bin Mas’ud.” ‘Aisyah lalu mengatakan: “Demikianlah dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya.” (HR. At-Tirmidzi, Kitabush Shiyam Bab Ma Ja`a fi Ta’jilil Ifthar, 3/82, no. 702. Beliau menyatakan: “Hadits hasan shahih.”)
At-Tirmidzi mengatakan: Hadits Zaid bin Tsabit (tentang mengakhirkan sahur, -pent.) derajatnya hasan shahih. Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat dengannya. Mereka menyunnahkan untuk mengakhirkan sahur.” (Bab Ma Ja`a fi Ta`khiri Sahur)
Di antara kesalahan yang lain adalah:
Mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan kehati-hatian/ihtiyath (Mu’jamul Bida’, hal. 268)
q
Membunyikan meriam untuk memberitahukan masuknya waktu shalat, sahur, atau berbuka. Al-Imam Asy-Syathibi menganggapnya bid’ah. (Al-I’tisham, 2/103; Mu’jamul Bida’, hal. 268)
q
Bersedekah atas nama roh dari orang yang telah meninggal pada bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. (Ahkamul Jana`iz, hal. 257, Mu’jamul Bida’, hal. 269)
q
Dan masih banyak lagi kesalahan lain, yang Insya Allah akan dibahas pada kesempatan yang lain.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Lihat pula Majmu’ Fatawa (25/179)
2 Bila di masyarakat kita tandanya adalah dengan selain adzan, seperti sirine, petasan, atau yang lain yang tidak ada dasar syar’inya sama sekali.
3 Yakni sebelum masuk waktu subuh.
4 Karena Ibnu Ummi Maktum adzan setelah masuk waktu subuh.

Jumat, 29 Juni 2012

Hikmah Revolusi Timur Tengah


Pelajaran Dari Revolusi Timur Tengah


Mukaddimah
ben-alihosni-mubarakBaru-baru ini kita menyaksikan serangkaian peristiwa di Tunisia, Mesir, Libya, Bahrain, Yaman, dan Suriah. Mulai dari kaburnya Presiden Ben Ali mencari perlindungan, diikuti jatuhnya Rezim Mubarak pasca unjuk rasa besar-besaran dan perang sengit antara Muammar Gaddafi melawan para demonstran. Dari Afrika, gelombang unjuk rasa berputar haluan menuju Bahrain, Yaman, dan Suriah. Wallahu a’lam, negara mana lagi selanjutnya yang mendapat giliran.
Korban jiwa berjatuhan. Puluhan di Tunisia, ratusan di Mesir & Yaman, dan ribuan di Libya dan Suriah. Adapun yang luka-luka, maka tak terkira jumlahnya. Pembunuhan, penjarahan, perusakan, dan pelanggaran kehormatan, nampaknya menjadi harga mati setiap revolusi.
Peristiwa ini mengingatkan penulis terhadap kerusuhan Mei 1998 yang melanda sejumlah kota di Indonesia. Di Jakarta, ribuan mahasiswa berunjuk rasa menuntut lengsernya Pak Harto yang telah berkuasa 32 tahun. Berbagai yel-yel diteriakkan oleh mereka. Mayoritas menuntut perbaikan ekonomi, sebagian menuntut kebebasan hak asasi, sebagian lagi sekedar mencari sensasi, namun sedikit sekali yang berjuang demi ridha ilahi.
Elang Mulya, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie adalah empat mahasiswa Trisakti yang terbunuh tanggal 12 Mei 1998. Nama mereka lantas diabadikan sebagai ‘Pahlawan Reformasi’.
soeharto1muamar-gadafiMirip revolusi yasmin di Tunisia, terbunuhnya keempat mahasiswa tadi memicu kerusuhan besar di Jakarta dan Solo (kota asal saya). Tanggal 14-15 Mei merupakan hari-hari paling kelabu dalam sejarah kota bengawan ini. Kelabu bukan hanya dalam arti ‘menyedihkan’, namun kelabu dalam arti yang sesungguhnya. Pembakaran terjadi di mana-mana. Pertokoan, pusat perbelanjaan, dealer kendaraan, dan sebagian rumah warga adalah sasarannya.
Penjarahan dan pengrusakan oleh massa terjadi di hampir seluruh kota. Gerombolan perusuh berambut gondrong dan bertato terlihat melempari rumah warga dengan batu dan botol. Mereka hendak meluapkan emosi dengan gaya mereka, atau mungkin sekedar isengdan membikin huru-hara. Tumpukan ban yang dibakar semakin menambah ‘kelabu’ suasana hari itu. Sejumlah aset milik etnis Tionghoa menjadi sasaran utama mereka, bahkan banyak dari wanita mereka yang konon diperkosa !
Kaum perusuh memang tak membedakan siapa kawan siapa lawan. Bagi mereka, kerusuhan adalah kesempatan emas untuk beraksi dan mencari kepuasan.
Malamnya, suasana demikian mencekam. Warga memasang barikade di mulut-mulut gang dan melakukan jaga malam. Saya sendiri termasuk yang ikut berjaga beberapa kali. Kota Solo terasa demikian sunyi karena sebagian besar warga memilih tinggal di rumah. Lagi pula, untuk apa keluar rumah? Toh kantor-kantor dan sekolah-sekolah libur total… toko-toko nyaris tak ada yang buka… dan jalan-jalan dipenuhi bangkai kendaraan yang terbakar !
Pun demikian, lengsernya Pak Harto tanggal 21 Mei 1998 tak menghentikan kerusuhan begitu saja. Enam bulan kemudian, tragedi berdarah kembali terulang di Ibukota. Dan lagi-lagi, korbannya adalah pelajar dan mahasiswa.
bj-habibiegus-dur2Agaknya, tumbangnya Pak Harto sebagai simbol rezim orba menumbangkan pula rasa takut rakyat terhadap penguasa. Presiden B.J. Habibie yang jenius ternyata tak punya wibawa… beda jauh dengan pendahulunya. Dan mulai saat itu, unjuk rasa menjadi pemandangan biasa di ibukota.
Wibawa pemerintah pun semakin menurun. Baik periode Habibie, Gus Dur, Megawati, maupun SBY; semuanya diwarnai berbagai unjuk rasa. Kita menginginkan pemimpin yang jujur, adil, dan berpihak kepada Islam. Berbagai sarana ditempuh oleh kaum muslimin untuk memegang tampuk kekuasaan. Partai-partai yang berlabel Islam bermunculan bak cendawan di musim hujan. Umat pun bingung, siapa yang harus dipilih? Semuanya mengatasnamakan Islam dan semuanya menginginkan perubahan. Namun lagi-lagi hasilnya mengecewakan.
megawatisoesilo-bambang-yudhoyonoBerbagai peristiwa tadi, baik yang terjadi di timur tengah maupun di tanah air, tentu memiliki segudang pelajaran berharga. Sebab Ahlussunnah meyakini bahwa Allah tidak mungkin menciptakan sesuatu yang bersifat kejelekan seratus persen. Akan tetapi, sejelek apa pun takdir Allah, pasti di baliknya tersimpan sejumlah hikmah dan pelajaran.
Pelajaran 1: Sebagaimana Kalian, Demikian Pula Pemimpin Kalian
Mengapa kita sering membicarakan kejelekan pemerintah, namun melupakan kejelekan pribadi? Mengapa kita selalu mencela penguasa, dan tak pernah mencela berbagai penyimpangan kita?  Ali bin Abi Thalib Sebenarnya, pemerintah adalah cermin rakyatnya. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya oleh seseorang: “Mengapa saat Abu Bakar dan Umar menjabat sebagai khalifah kondisinya tertib, namun saat Utsman dan engkau yang menjadi khalifah kondisinya kacau? Jawab Ali: “Karena saat Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, mereka didukung oleh orang-orang seperti aku dan Utsman, namun saat Utsman dan aku yang menjadi khalifah, pendukungnya adalah kamu dan orang-orang sepertimu” (1).
abu-bakarumar-bin-khattabJadi, ketika penguasa seenaknya mengeruk kekayaan negara dan memenjarakan rakyat tak berdosa, penyebabnya adalah dosa rakyat yang melalaikan kewajiban dan tenggelam dalam maksiat. Demikian pula ketika rakyat memberontak dan menjatuhkan si penguasa, itupun akibat kesalahan penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, loyal kepada orang kafir, tenggelam dalam foya-foya dan menelantarkan urusan negara.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah mengatakan[2], “Waliyyul amr, baik dari kalangan ulama’ maupun umara’, pasti punya banyak kesalahan. Akan tetapi, dalam sebuah atsar disebutkan kamaa takuunuu, yuwalla ‘alaikum (sebagaimana kalian, demikian pula pemimpin kalian)[3].”
Cobalah perhatikan kondisi masyarakat…
Karakter pemimpin yang sesuai dengan rakyatnya adalah salah satu ketentuan Allah yang bijaksana. Allah berfirman,
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Demikianlah Kami kuasakan orang-orang yang zhalim itu satu sama lain, sebagai akibat dari perbuatan mereka” (QS. Al-An’am 6:129).
ustman-bin-affanali-bin-abi-thalibDemikian pula sebaliknya, Allah mengangkat pemimpin shalih bagi rakyat yang shalih. Jika kita perhatikan diri kita sebagai rakyat, ternyata kita pun sering meremehkan kewajiban, tenggelam dalam maksiat, curang dalam jual-beli, melakukan penipuan, pemalsuan, dan banyak lagi.
Siapa yang meneliti kondisi umat Islam hari ini, pasti akan menyaksikan berbagai kekurangan dan kelemahan. Umat Islam adalah umat yang jujur, menepati janji, dan amanah. Akan tetapi semua sifat ini tak lagi dimiliki sekarang, kecuali pada segelintir orang yang masih dirahmati Allah.
Kalaulah kita sendiri menyia-nyiakan amanah yang kita pikul padahal kita bukanlah penguasa besar, lantas bagaimana halnya dengan mereka yang menguasai kita? Boleh jadi lebih menyia-nyiakan lagi daripada kita. Akan tetapi, bersikaplah yang lurus, niscaya Allah menjadikan pemimpin kita bersikap lurus [..].
Ibnul Qayyim (w. 751 H) mengatakan: Cobalah perhatikan hikmah Allah yang menjadikan para penguasa sebanding dengan jenis perbuatan rakyatnya, bahkan tingkah laku rakyat menjadi cerminan penguasa mereka. Jika rakyat itu istiqamah (lurus), maka penguasanya pun lurus. Jika mereka adil, maka penguasa pun adil. Jika mereka zhalim, maka penguasa pun zhalim. Jika mereka terkenal suka menipu dan manipulasi, maka penguasanya pun seperti itu. Jika mereka menahan hak Allah terhadap harta mereka dan pelit dalam membayar zakat; maka penguasa akan menahan hak rakyatnya dan pelit terhadap mereka. Jika golongan lemah dari mereka menindas yang kuat dan mengambil yang bukan miliknya dalam bermuamalah, maka penguasa akan mengambil pula yang bukan miliknya dan mencekik mereka dengan berbagai pajak dan upeti. Semua yang mereka rampas dari pihak yang lemah, akan dirampas dari mereka oleh penguasa … jadi, para pejabat adalah potret perbuatan rakyat! Hikmah ilahi tidak punya ketentuan lain, selain menguasakan orang jahat atas sesamanya.
Berhubung generasi pertama umat Islam adalah generasi terbaik, maka pemimpin mereka pun adalah pemimpin terbaik. Ketika mereka mulai menyimpang, pemimpin mereka pun menyimpang.
Jadi, kebijaksanaan Allah tak mengizinkan kita untuk dipimpin oleh orang-orang seperti Mu’awiyah radhiyallaahu ‘anhu dan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, apalagi oleh pemimpin seperti Abu Bakar dan Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Akan tetapi, pemimpin kita adalah sesuai dengan kualitas kita. Dan pemimpin sebelum kita, juga sesuai dengan kualitas rakyatnya [..].[4]
Pelajaran 2: Bangunlah Rumah dari Bawah
Erat kaitannya dengan pelajaran pertama, ibrah yang kedua ini mengajarkan kita bagaimana cara membangun ‘rumah’ yang benar. Setiap rumah pasti memiliki pondasi, dinding, dan atap. Nah, demikian pula suatu negara, pasti memiliki elemen-elemen penting yang menyusunnya. Undang-undang ibarat pondasi, sedangkan rakyat adalah dinding, dan pemerintah adalah atapnya.
Bila kita perhatikan berbagai revolusi tadi, ternyata semuanya menginginkan perubahan dari ‘atap’. Mereka tak mempedulikan keadaan pondasi dan dinding rumah yang hendak direnovasi. ‘Pokoknya, gentengnya harus kita ganti baru !’, seru mereka.
Padahal, apa artinya genteng baru yang mengkilap kalau pondasi dan dindingnya rapuh? Apa artinya presiden baru kalau undang-undang dan rakyatnya masih seperti dulu? Perubahan yang terjadi ibarat bunglon yang berganti warna kulit, sedangkan ia tetap bunglon. Kalau pun ada perubahan maka artinya tak seberapa, karena yang berubah hanyalah wajah penguasa, bukan sistem dan perilakunya.
Berikut ini sebuah perbandingan sederhana antara perubahan dari bawah akibat dakwah, dan perubahan dari atas akibat revolusi.
Dalam Sirah-nya, Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, bahwa sejumlah tokoh musyrikin Quraisy pernah berkumpul di samping Ka’bah. Mereka berunding untuk menghentikan laju dakwah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Diutuslah seseorang untuk memanggil beliau. Begitu beliau datang, mereka segera memuntahkan segala uneg-uneg mereka tentang dakwah beliau. Mereka demikian kebakaran jenggot akibat dakwah tauhid yang diserukan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Menurut mereka, dakwah itu telah memecah belah kesatuan suku Quraisy. Beliau dituduh mencemooh ajaran leluhurnya, mencaci-maki berhala, membodoh-bodohkan keyakinan kaumnya, dan melakukan semua tindakan tercela yang merusak hubungan beliau dengan mereka.
Mereka lantas berkata, “Kalaulah tujuanmu mendakwahkan itu semua adalah demi mencari harta, kami akan kumpulkan separuh harta kami untukmu, sehingga kamu menjadi orang yang paling kaya di antara kita. Tapi bila dakwahmu ini demi mencari status sosial, maka kami angkat kamu menjadi pemimpin kami. Namun bila engkau menghendaki kekuasaankami angkat dirimu menjadi raja. Sedang bila semua ajakanmu ini akibat gangguan setan (kesurupan), maka kami akan mencarikan tabib dan menanggung biaya pengobatanmu hingga sembuh”.
Alangkah manisnya tawaran-tawaran tersebut. Dr. Ahmad an-Naqieb mengatakan, “Sebenarnya kalau dipikir, mengapa beliau tidak menerima tawaran tadi? Padahal jika beliau menjadi orang paling kaya, maka beliau bisa membeli budak dalam jumlah besar (10 ribu orang misalnya), lalu mempersenjatai mereka dan mengatakan kepada kaum musyrikin, “Pilih mana: kalian masuk Islam, atau mereka kusuruh menghabisi kalian?!” Bukankah dengan begitu beliau dapat menyukseskan misinya dengan mudah?”[5]
Akan tetapi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Aku tak mengerti maksud ucapan kalian. Semua yang kudakwahkan kepada kalian bukanlah dalam rangka mencari kekayaan, status sosial, maupun kekuasaan. Akan tetapi Allah mengutusku sebagai Rasul, menurunkan kitab kepadaku, dan menyuruhku memberi kabar gembira dan peringatan bagi kalian. Maka kusampaikanlah risalah Allah dan kunasehati kalian. Jika kalian menerima ajakanku, maka itulah bagian kalian di dunia dan di akhirat. Namun jika kalian menolaknya, maka aku akan bersabar sampai Allah memutuskan perselisihan kita”.[6]
bouazizi1bouazizibouazizi2
Beliau menolak semua tawaran tadi karena beliau memiliki misi utama, yaitu membenahi kondisi dan perilaku kaumnya. Allah berfirman,
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ (156) الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (157) 
“… dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu, maka kelak akan Ku-tetapkan rahmat tersebut bagi orang-orang bertakwa yang menunaikan zakat, dan beriman kepada ayat-ayat Kami. Yaitu mereka yang mengikuti Rasulullah sebagai Nabi yang ummi (buta huruf); yang (namanya) mereka dapati tertulis dalam kitab Taurat dan Injil milik mereka. Ia menyuruh mereka berbuat ma’ruf, melarang mereka berbuat munkar, menghalalkan bagi mereka semua yang baik, mengharamkan bagi mereka semua yang buruk, serta mencabut segala belenggu dan beban yang sebelumnya mereka pikul. Maka siapa saja yang beriman kepadanya, mendukungnya, membelanya, dan mengikuti cahaya yang turun kepadanya (Al Qur’an), berarti mereka lah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-A’raaf 7:156-157).
Beliau menolak dijadikan penguasa atas mereka. Sebab selama mereka belum mau diberesi, maka percuma saja dikuasai.
bouazizi3
Namun yang sering kita saksikan adalah sebaliknya. Sebagian orang justru demikian ambisius mencapai kekuasaan. Karenanya, mereka menempuh hampir segala cara demi mewujudkannya. Jalan dakwah terlalu panjang di mata mereka, dan mereka khawatir takkan sempat memetik buah manisnya karena terlalu lama.
Mereka ingin mengadakan perubahan drastis dengan jalan pintas, yaitu merebut kekuasaan. Yang ‘agak sabar’ di antara mereka, menempuhnya lewat politik praktis dan parlemen. Namun yang tak sabar, meraihnya lewat kudeta dan revolusi.
Semua cara tadi telah dicoba di beberapa negara. Mesir, Turki, Sudan, Aljazair, dan Suriah adalah sebagian contohnya. Tak satupun dari negara tersebut yang berhasil dibenahi. Mesir masih identik dengan kerusakan moral dan ratusan kuburan keramatnya. Turki tetap identik dengan undang-undang sekulernya. Sudan kalah negoisasi dengan pihak Nashrani dan kini terpecah menjadi dua. Partai Islam Aljazair (FIS) gagal berkuasa setelah menang suara. Sedangkan 40 ribu warga kota Hamah di Suriah menjadi korban pembantaian setelah gagal melakukan kudeta ![7]
Bandingkan kondisi negara-negara tersebut dengan penduduk jazirah Arab tiga abad yang lalu. Kondisi mereka jauh lebih mengenaskan dari kaum musyrikin di zaman Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Kemusyrikan menjadi fenomena sehari-hari. Bid’ah, khurafat, dan takhayyul sudah bukan rahasia lagi. Sedangkan pembunuhan dan perampokan telah menjadi profesi.
Namun melalu dakwah islahiyyah yang diserukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kondisi mereka berubah dari hari ke hari. Kemusyrikan dibasmi satu persatu dengan hujjah dan dalil. Kebodohan, bid’ah, khurafat, dan takhayul digantikan oleh ilmu, sunnah, akidah, dan amal. Pembunuhan dan perampokan berganti dengan keamanan; sedangkan kemiskinan berganti dengan kemakmuran.
Simaklah ucapan sejarawan Najed terkenal di masanya yang mengatakan:
“ولقد رأينا الدرعية بعد ذلك في زمن سعود بن عبد العزيز بن محمد بن سعود رحمهم الله تعالى، وما في أهلها من الأموال وكثرة الرجال والسلاح المحلى بالذهب والفضة، وعندهم الخيل الجياد والنجايب العمانيات، والملابس الفاخرة والرفاهيات ما يعجز عن عده اللسان، ويكل عن حصره الجنان والبنان. ولقد نظرت إلى موسمها يوماً وأنا في مكان مرتفع، وهو في الموضع المعروف بالباطن، بين منازلها الغربية التي فيها آل سعود والمعروفة بالطريف، وبين منازلها الشرقية، والمعروفة بالبجيري التي فيها أبناء الشيخ. ورأيت موسم الرجال في جانب وموسم النساء في جانب، وما فيه من الذهب والفضة والسلاح والإبل والأغنام، وكثرة ما يتعاطونه من صفقة البيع والشراء، والأخذ والعطاء، وغير ذلك، وهو مد البصر لا تسمع فيه إلا دوي النحل من النجناج، وقول: بعت واشتريت، والدكاكين على جانبيه الشرقي والغربي، وفيها من الهدم والقماش والسلاح ما لا يوصف، فسبحان من لا يزول سلطانه وملكه…” 
“Sungguh, kami pernah menyaksikan kota Dir’iyyah(8] pada zaman Su’ud bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Su’ud, rahimahumullah. Alangkah banyak harta yang dimiliki warganya, di samping besarnya jumlah pasukan dan persenjataan berlapis emas dan perak. Demikian pula kuda-kuda dan unta-unta istimewa, pakaian-pakaian mewah, dan berbagai kemegahan yang sulit dibayangkan dalam hati maupun dilukiskan lewat kata-kata.
Aku pernah menyaksikan suatu pekan raya di Dir’iyyah dari sebuah tempat yang tinggi. Pekan tersebut berada di tempat bernama Baathin, yang terletak di antara perumahan keluarga Saud -yang dikenal dengan nama Thuraif - dan perumahan keluarga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab - yang dikenal dengan nama Bujairi -. Kulihat bahwa tempat laki-laki terpisah dari tempat perempuan. Kusaksikan betapa banyak emas, perak, senjata, unta, dan kambing. Betapa seringnya transaksi jual beli dan serah terima terjadi di sana. Pekan tersebut terlihat sejauh pandangan mata, dan yang terdengar hanyalah tempik sorak dan gemuruh pasar mirip dengungan lebah. Toko-toko berjejer di sebelah timur dan barat, penuh berisi pakaian, tekstil, dan senjata yang tak terbayangkan. Maha Suci Allah yang selalu abadi kekuasaan-Nya…”.[9]
Inilah sebuah perbandingan sederhana antara perjuangan lewat dakwah yang dibangun atas landasan tauhid dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, yang memakan waktu puluhan tahun… akan tetapi membuahkan hasil manis berupa tegaknya tauhid, runtuhnya symbol-simbol syirik, dan tegaknya syari’at Allah. Bandingkan dengan perjuangan lewat demokrasi dan revolusi yang dilakukan dalam waktu relatif singkat, akan tetapi tak pernah berujung pada tegaknya tauhid atau lenyapnya berbagai kemusyrikan.
Pelajaran 3: Unjuk Rasa = Awal Kekacauan dan Bencana
Ketika badai unjuk rasa berhembus, orang-orang berhamburan keluar rumah mengekspresikan keinginannya. Mereka berkumpul dalam aksi longmarch besar-besaran. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya ikut serta. Walaupun awalnya sekedar unjuk rasa damai, tetap saja kerusuhan sering kali mewarnai. Mengapa demikian? Simaklah pendapat seorang ‘alim rabbani yang namanya tak asing di telinga kita. Beliau lah ulama yang digelari oleh Syaikh Al Albani -rahimahullah- sebagai faqiehuz zamaan, alias ahli fiqih zaman ini. Beliaulah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin -rahimahullah-.
Ada yang bertanya kepada beliau: “Kalau penguasanya tidak berhukum dengan syariat Allah, lalu ia membolehkan sebagian kalangan untuk melakukan unjuk rasa independen berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh si penguasa, kemudian mereka (para demonstran) melakukannya; kemudian bila ada yang mengingkari perbuatan mereka, mereka mengatakan: “Kami tidak melawan penguasa, dan apa yang kami lakukan selaras dengan pendapat penguasa”. Apakah hal tersebut dibolehkan secara syar’i jika mengandung hal-hal yang bertentangan dengan nash (dalil)?
Jawab beliau, “Kamu hendaknya mengikuti para salaf. Kalau memang demonstrasi ada di zaman salaf, berarti baik. Namun jika tidak ada di zaman mereka, berarti jelek. Tidak diragukan sedikitpun bahwa demonstrasi itu jelek, sebab ia menimbulkan kekacauan, baik dari pihak demonstran maupun yang lain. Bahkan terkadang menimbulkan tindak aniaya terhadap kehormatan, harta benda, dan jiwa. Karena mereka yang tenggelam dalam kekacauan tadi, seperti pemabuk yang tidak sadar terhadap ucapan dan perbuatannya. Jadi, demonstrasi itu jelek semua, baik diizinkan oleh penguasa maupun tidak. Adanya sebagian penguasa yang mengizinkan demonstrasi sebenarnya hanyalah basa-basi, sebab jika hati kecilnya ditanya ia pasti sangat membencinya. Namun ia berusaha menampakkan dirinya sebagai orang yang ‘demokrat’, dan memberi kebebasan bagi rakyat… ini semuanya bukanlah sikap para salaf”.[10]
Kalau lah ada yang mengatakan bahwa fatwa ini tidak berlaku bagi demonstrasi damai, maka jawabnya ialah bahwa walaupun demonstrasi itu awalnya damai, namun sering berujung pada kekerasan dan tindak anarkis. Sebab para demonstran belum tentu satu tujuan, dan tidak memiliki satu komando… mereka juga tidak bisa menolak orang lain yang hendak bergabung, dan bahkan mungkin tidak saling mengenal satu sama lain. Dalam kondisi seperti ini, provokator sangat mudah menyusup untuk menyulut fitnah. Apalagi jika mereka keluar dengan emosi lalu mendapat perlakuan dan sikap yang tak sesuai keinginan, maka bukan saja kekacauan yang terjadi, namun perang saudara dan pertumpahan darah.
Revolusi Tunisia awalnya sekedar unjuk rasa akibat meroketnya harga sembako dan solidaritas terhadap Bouazizi yang membakar dirinya. Akan tetapi, unjuk rasa hari itu berujung pada baku hantam antara aparat dan ratusan pengunjuk rasa, penangkapan puluhan demonstran, dan pengrusakan sejumlah fasilitas umum. Kemudian berakhir setelah menyisakan 219 korban tewas.[11]
Revolusi Mesir sampai hari ini belum benar-benar berakhir. Menurut amnesty internasional, jumlah korban tewas sejak meletusnya revolusi tanggal 25 Januari 2011, minimal mencapai 840 orang[12]. Dan sampai hari ini aksi demonstrasi masih terus terjadi dan terus menelan korban jiwa.
Yang lebih parah lagi adalah revolusi Libya. Jenderal Abdul Mun’im Al Hauny selaku wakil Majelis Peralihan Nasional Libya di Kairo, pernah menyatakan bahwa revolusi melawan Gaddafi telah menelan korban 35 ribu orang tewas, puluhan ribu orang luka-luka, dan kerugian material atas rusaknya fasilitas dan infrastruktur umum lebih dari 240 milyar Dollar! Hal ini beliau jelaskan dalam wawancara dengan harian Al Masry Al Youm tanggal 11 Agustus 2011. Artinya, saat itu Gaddafi belum benar-benar terguling, sebab ia baru terbunuh tanggal 20 Oktober 2011.(13]
Belum lagi dengan Revolusi Yaman dan Suriah. Semuanya membuktikan bahwa demonstrasi = awal berbagai kekacauan dan bencana. Demonstrasi dan unjuk rasa, termasuk bentuk khuruj, alias pemberontakan terhadap penguasa[14]. Kalau penguasa tersebut seorang muslim, maka tindakan ini jelas haram secara syar’i. Simaklah hadits berikut yang sarat dengan pelajaran berharga…
Abdurrahman bin Abdirabbil Ka’bah menceritakan, “Aku pernah masuk ke masjidil haram dan kudapati Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash sedang duduk di balik bayang-bayang Ka’bah, sedangkan orang-orang berkumpul di sekelilingnya. Aku pun menghampiri mereka dan duduk di dekatnya. Ia lantas bercerita, “Kami pernah bersama Rasulullah dalam suatu safar. Kami singgah di sebuah tempat, lalu di antara kami ada yang membenahi tenda, ada yang bermain panah, dan ada yang mengawasi hewan tunggangannya. Tiba-tiba pesuruh Rasulullah memanggil kami untuk shalat berjama’ah. Maka kami segera mendatangi Rasulullah untuk shalat, lalu selepas shalat beliau bersabda:
إنه لم يكن نبي قبلي إلا كان حقا عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم وينذرهم شر ما يعلمه لهم، وإن أمتكم هذه جعل عافيتها في أولها وسيصيب آخرها بلاء وأمور تنكرونها، وتجيء فتنة فيرقق بعضها بعضا، وتجيء الفتنة فيقول المؤمن هذه مهلكتي ثم تنكشف، وتجيء الفتنة فيقول المؤمن هذه هذه؛ فمن أحب أن يزحزح عن النار ويدخل الجنة، فلتأته منيته وهو يؤمن بالله واليوم الآخر وليأت إلى الناس الذي يحب أن يؤتى إليه، ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه إن استطاع، فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر. 
Tidak ada seorang Nabi pun sebelumku, melainkan ia wajib membimbing umatnya kepada sesuatu yang paling baik bagi mereka, dan memperingatkan mereka dari sesuatu yang paling buruk untuk mereka. Sesungguhnya keselamatan umat ini dijadikan bagi generasi awalnya, sedangkan generasi akhirnya akan terkena berbagai bala dan perkara yang kalian ingkari. Fitnah pun datang melanda, dan sebagian fitnah seakan meringankan fitnah lainnya. Lalu datanglah fitnah besar, hingga orang beriman mengatakan bahwa inilah kebinasaannya; lalu fitnah tersebut berakhir. Kemudian datang fitnah yang lebih besar lagi, maka si mukmin berkata: “Ini dia… ini dia”. Maka barangsiapa ingin dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan Surga, hendaklah ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir; dan hendaklah memperlakukan orang-orang dengan perlakuan yang ia sukai bagi dirinya sendiri. Barangsiapa telah membaiat seorang pemimpin dengan tulus ikhlas, maka hendaklah ia taat kepadanya selagi mampu. Bila ada orang lain yang hendak merebut kepemimpinannya, maka bunuhlah orang lain tersebut”.
Maka kudekati beliau dan kukatakan, “Kusumpah engkau demi Allah. Benarkah ini semua kau dengar dari Rasulullah?” tanya Abdurrahman. Maka ia menunjuk kedua telinga dan dadanya, seraya berkata: “Aku mendengarnya dengan kedua telingaku, dan memahaminya dengan hatiku”. Jawab Abdullah bin ‘Amru.
Lalu bagaimana dengan sepupumu Mu’awiyah yang menyuruh kami agar memakan harta kami secara batil, dan saling berbunuhan? Padahal Allah berfirman:
يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما ! 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama kalian secara batil, kecuali dengan jual-beli atas dasar kerelaan. Jangan pula kalian saling membunuh, sesungguhnya Allah amat pengasih terhadap kalian (An Nisa’: 29).
Abdullah bin ‘Amru pun terdiam sejenak, lalu berkata: “Taatilah dia dalam hal yang bersifat taat kepada Allah, dan maksiatilah dia dalam hal yang bersifat maksiat kepada Allah”. (HR. Muslim no 1844).
Dalam hadits lain Rasulullah pernah ditanya,
يا نبي الله أرأيت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم ويمنعونا حقنا فما تأمرنا فأعرض عنه ثم سأله فأعرض عنه ثم سأله في الثانية أو في الثالثة فجذبه الأشعث بن قيس وقال اسمعوا وأطيعوا فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم 
Wahai Nabiyullah, bagaimana menurutmu jika kami dikuasai oleh para pemimpin yang menuntut hak mereka, namun merampas hak kami. Apa yang engkau perintahkan atas kami? Nabi pun berpaling darinya. Lalu beliau ditanya lagi kedua atau ketiga kalinya, maka Asy’ats bin Qais menarik baju si penanya, lalu Nabi menjawab: “Dengarlah dan taatilah para pemimpin kalian, karena mereka bertanggung jawab atas kewajibannya, dan kalian bertanggung jawab atas kewajiban kalian”. (HR. Muslim no 1846).
Dalam perang Hunain, Rasulullah berhasil mengalahkan suku Hawazin dan meraih ghanimah yang demikian besar. Beliau lantas membagi-bagikannya kepada suku Quraisy yang baru masuk Islam dan kebanyakan dari mereka justru lari saat pertempuran. Akan tetapi, kaum Anshar yang begitu berjasa dan membela Rasulullah mati-matian, justru tidak diberi apa-apa. Sebagian dari mereka lantas mengeluhkan sikap Rasulullah tersebut, hingga akhirnya beliau berkhutbah di hadapan mereka dengan sangat mengesankan… lalu menutup khutbahnya dengan kata-kata:
أفلا ترضون أن يذهب الناس بالأموال وترجعون إلى رحالكم برسول الله؟ فوالله لما تنقلبون به خير مما ينقلبون به. فقالوا: بلى يا رسول الله قد رضينا, قال: فإنكم ستجدون أثرة شديدة فاصبروا حتى تلقوا الله ورسوله فإني على الحوض, قالوا: سنصبر. 
“Tidakkah kalian ridha bila orang-orang pulang membawa harta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah? Sungguh demi Allah, apa yang kalian bawa pulang lebih baik daripada apa yang mereka bawa pulang”. “Benar wahai Rasulullah, kami ridha”, jawab mereka. “Kalau begitu, nanti kalian akan melihat sikap mementingkan diri yang luar biasa dari para penguasamaka bersabarlahhingga kalian menghadap Allah dan Rasul-Nya, sebab aku menanti kalian di telaga”, pesan Rasulullah. “Baiklah, kami akan bersabar”, jawab kaum Anshar. (HR. Muslim no 1059).
Dalam hadits-hadits di atas, Rasulullah telah berwasiat kepada umatnya secara umum, dan kaum Anshar secara khusus; bahwa kelak akan muncul para penguasa yang mementingkan kemaslahatan pribadi mereka, serta melakukan berbagai kezhaliman dan kemunkaran.
Mereka (mayoritas penguasa tadi) mengesampingkan jasa-jasa kaum Anshar yang demikian besar, dan mengedepankan orang-orang yang tidak berjasa dalam Islam untuk memegang tampuk kekuasaan…
Cobalah kita perhatikan sosok Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi. Siapa dia? Dari mana asal-usulnya? Apa jasa-jasanya terhadap Islam? Sungguh tak layak jika orang model Hajjaj menjadi gubernur Mekkah dan Madinah sejak tahun 73-75 H, padahal di sana banyak para sahabat dan tabi’in mulia …[15].
Hajjaj lantas dipindah tugaskan ke Irak dan menjadi gubernur di sana selama 20 tahun. Banyak orang yang ‘tak sabar’ melihat kelakuannya. Sebagian dari mereka berpikir untuk melakukan kudeta… namun sebagian lagi menahan diri. Salah satu orang yang paling dibenci oleh Hajjaj adalah Anas bin Malikradhiyallaahu ‘anhu.
Pembantu setia Rasulullah selama 8 tahun ini pernah kena damprat dan caci maki oleh Hajjaj bin Yusuf !! Seorang tabi’in bernama Ali bin Zaid bin Jud’an menuturkan: Aku pernah berada di istana Hajjaj saat ia menginterogasi para pengikut Ibnul Asy’ats. Ketika Anas berdiri di hadapannya, Hajjaj berkata:
“Hei orang busuk yang tenggelam dalam berbagai fitnah. Sesekali kau di pihak Ali, kemudian di pihak Ibnu Zubeir, lalu di pihak Ibnul Asy’ats[16]?”.
“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kamu akan kubunuh dan kukuliti laksana seekor biawak !!” celetuk Hajjaj.
“Siapa yang Anda maksud wahai Amir ?” tanya Anas.
“Kamulah yang kumaksud. Semoga Allah menulikan telingamu !” bentak Hajjaj.
Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun” kata Anas. Ia pun keluar dari sana lalu mengatakan: “Demi Allah, andai saja aku tak ingat akan anak-anakku, dan khawatir dia (Hajjaj) menganiaya mereka, niscaya akan kuucapkan kepadanya kata-kata yang membuatnya pasti membunuhku” lanjut Anas(17].
Kendatipun demikian, Anas radhiyallahu ‘anhu tidak membalas kekurang ajaran tersebut dengan sikap yang sama, walaupun ia sangat berhak membela diri dari tuduhan ini. Anas lalu menyurati Abdul Malik bin Mirwan selaku khalifah yang mengangkat Hajjaj sebagai gubernur Irak, dan mengeluhkan sikap Hajjaj yang kurang ajar tadi.[18]
Dalam versi lainnya, Imam Al Hakim meriwayatkan kisah ini dari Simak bin Musa, katanya:
لما دخل أنس رضي الله عنه على الحجاج أمر بوجى ء عنقه ثم قال يا أهل الشام أتعرفون هذا هذا خادم رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم قال أتدرون لم وجأت عنقه قالوا الأمير أعلم قال إنه كان بين البلاء في الفتنة الأولى وغاش الصدر في الفتنة الآخرة … 
“Saat Anas menghadap Hajjaj, ia menyuruh agar lehernya ditonjok! Hajjaj lantas berkata: “Wahai warga Syam, apakah kalian mengenal orang ini? Dia adalah pembantu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Tahukah kalian mengapa kutonjok lehernya?”. Tanya Hajjaj. “Amir-lah yang lebih tahu” jawab mereka. “Itu karena ia berada di antara bencana yang terjadi dalam fitnah pertama, dan berkhianat dalam fitnah yang terakhir”.[19]
Hajjaj konon berkeliling mempertontonkan Anas kepada pasukannya. Anas lantas menyurati Abdul Malik bin Marwan dengan mengatakan: “Bagaimana menurutmu jika pembantu Nabi Musa mendatangi kalian, apakah kalian akan menyakitinya?”. Maka Abdul Malik menyurati Hajjaj dan menyuruhnya agar membiarkan Anas bin Malik untuk tinggal di bumi mana saja yang dia suka. Ia juga menulis surat kepada Anas dan mengatakan “Tidak ada seorang pun yang berkuasa atasmu selainku”.[20]
Meskipun demikian menyakitkan perlakuan Hajjaj terhadap Anas, Anas tetap saja tidak memberontak atau mengajak orang-orang untuk ‘berdemonstrasi’ menuntut agar Hajjaj dicopot dari jabatannya…. Dan jangan lupa, bahwa status beliau adalah pembantu setia Rasulullah dan satu dari segelintir sahabat Nabi yang masih hidup… bahkan umur beliau kala itu telah demikian lanjut, sebab beliau wafat tahun 93 H dalam usia 103 tahun menurut pendapat paling shahih, sedangkan fitnah Ibnul Asy’ats berakhir pada tahun 84 H. Ini berarti bahwa usia beliau saat dicaci-maki oleh Hajjaj adalah 90 tahun atau lebih.
Kendatipun demikian, simaklah bagaimana sikap beliau terhadap warga Basrah yang mengeluhkan perilaku Hajjaj ini. Salah seorang tabi’in murid Anas bin Malik yang bernama Zubeir bin Adiy mengatakan,
أتينا أنس بن مالك نشكو إليه ما نلقى من الحجاج، فقال: اصبروا فإنه لا يأتي عليكم عام أو زمان أو يوم إلا والذي بعده شر منه، حتى تلقوا ربكم عزوجل، سمعته من نبيكم صلى الله عليه وسلم 
Kami mendatangi Anas dalam rangka mengeluhkan kezhaliman Hajjaj terhadap kami. Maka kata Anas, “Sabarlah kalian, sebab tidaklah kalian melalui suatu hari atau zaman, melainkan yang datang setelahnya lebih jelek dari itu. (Demikian seterusnya) sampai kalian menghadap Allah (mati)”. Inilah yang kudengar dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.[21]
Demikian pula sikap Imam Hasan Al Bashri yang merupakan musuh bebuyutan Hajjaj dan berulang kali hendak dihabisinya. Hasan yang notabene adalah murid Anas bin Malik juga bersikap sebagaimana ‘ustadz’-nya yang tidak setuju terhadap khuruj.
Ayyub As Sikhtiyani mengatakan bahwa Hajjaj berulang kali berniat membunuh Hasan Al Basri, akan tetapi Allah melindunginya. Hasan juga beberapa kali terlibat perdebatan dengan Hajjaj. Pun begitu, Hasan tidak termasuk orang yang membolehkan khuruj (pemberontakan) terhadap Hajjaj. Ia bahkan melarang pengikut Ibnul Asy’ats untuk memberontak. Hasan mengatakan bahwa Hajjaj merupakan hukuman, maka janganlah kalian hadapi hukuman Allah dengan pedang. Kalian harus bersabar, tenang, dan merendahkan diri kepada Allah”.[22]
Asy-Sya’bi berkata, “Akan datang suatu masa di mana orang-orang mendoakan kebaikan bagi Hajjaj”. Dalam riwayat lain beliau mengatakan, “Demi Allah, jika kalian berumur panjang; kalian akan mengharapkan kembalinya Hajjaj”.[23]
Oleh karena itu, terjadinya pemberontakan Ibnul Asy’ats yang didukung oleh banyak ulama Irak saat itu, merupakan kesalahan besar yang mengakibatkan malapetaka. Simaklah komentar Ibnu Katsir setelah menyitir tragedi menewaskan sekitar 130 ribu muslim ini. Beliau mengatakan,
“Sungguh aneh bin ajaib ketika mereka (para fuqaha’ Irak) membaiatnya (yakni Abdurrahman ibnul Asy’ats) sebagai amirul mukminin, padahal ia bukan berasal dari Quraisy. Ia hanyalah seorang lelaki suku Kindah asal Yaman. Sedangkan para sahabat saat peristiwa saqifah Bani Sa’idah telah sepakat, bahwa yang berhak menjadi amirul mukminin hanyalah suku Quraisy. Abu Bakar Ash Shiddiq bahkan menegaskan hal tersebut dengan menyitir sebuah hadits. Saat kaum Anshar menuntut agar mreka memiliki amir di samping amir kaum Muhajirin, Abu Bakar menolak tuntutan tersebut. Bahkan Abu Bakar sempat mencambuk Sa’ad bin Ubadah yang awalnya menyerukan hal tersebut, namun kemudian rujuk darinya.
Lantas bagaimana dibenarkan bila mereka -para fuqaha’ Irak- menyikapi seorang khalifah yang telah dibaiat sebagai pemimpin kaum muslimin, lantas mencopotnya; padahal ia berasal dari suku Quraisy asli? Lalu di saat yang sama mereka membaiat seorang lelaki suku Kindah padahal baiat tersebut tidak disepakati oleh ahlul halli wal ‘aqdi? Karena ini merupakan kesalahan dan kekeliruan, maka terjadilah bencana besar yang menewaskan banyak korban… inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun”.[24]
Pelajaran 4: Jangan Paksa Rakyat Untuk Fakir dan Kafir Sekaligus[25]
habib-bourguibaAtas pengawasan negara-negara Barat, Perancis berhasil ‘menciptakan’ Habeeb Bourgiba sebagai presiden Tunisia pertama tahun 1956. Ia kembali ke negaranya bak pahlawan kemerdekaan, setelah menumbangkan kekuasaan monarki Muhammad Amin Bay, dan mengumumkan berdirinya Republik Tunisia.
Bourgiba tak lupa membayar ‘hutang budi’ tadi kepada Perancis dan Barat, dengan merevolusi syariat Islam. Melalui majalah al-Ahwaal asy-Syakhsiyyah, ia membatalkan sejumlah hukum syar’i yang baku. Yang paling terkenal di antaranya ialah larangan berpoligami. Poligami dianggap sebagai tindak kriminal, sedangkan pelacuran dibolehkan dan bahkan dilindungi undang-undang !!
Ketika pemerintah Tunisia menaikkan harga roti tahun 1984, terjadilah ‘revolusi roti’. Bourgiba memanggil pulang dubes-nya di Warsawa-Polandia, yang bernama Zein el-Ebidin Ben Ali. Ben Ali diangkat sebagai Kepala Keamanan Nasional, lalu menjadi Mendagri, dan kemudian dilantik sebagai Perdana Menteri tahun 1987, hingga akhirnya mengkudeta Bourgiba sebulan kemudian!
Saya masih ingat bahwa di awal kekuasaannya, Ben Ali sering menyiarkan adzan dari Masjidil Haram Mekkah, melalui televisi Tunisia. Orang-orang yang tidak mengenalnya pun menyambut hangat ‘kebijakan’ ini, dan menganggapnya sebagai ‘pengganti baik’ sang diktator Bourgiba.
Ketika itu, kami masih mahasiswa. Ada seorang kyai sepuh yang demikian faham akan muslihat para tiran berkata, “Jangan terpedaya olehnya (Ben Ali), sebab dia ciptaan Perancis. Ia akan menjadi seperti pendahulunya kalau tidak lebih jahat”. Ternyata, dugaan pak Kyai tadi benar.
Sang diktator terus melenggang dengan segala kezhaliman dan kesewenang-wenangannya selama 23 tahun. Ia terus-menerus memerangi Islam, berlaku otoriter, dan mencekik rakyatnya.
Pada hari Jumat 11 Muharram 1432, seorang pemuda bernama Mohamed Bouazizi nekat membakar dirinya. Ia melakukan hal tersebut karena kesal setelah gerobak sayurnya disita aparat. Bouazizi yang menjadi pengangguran dan tak lagi mampu menafkahi keluarga, juga menerima tamparan dari seorang polisi wanita di depan umum. Tak ada seorang pun yang membelanya ketika itu. Tak lama berselang, ia pun wafat akibat luka bakarnya pada tanggal 29 Muharram.
Keesokan harinya, meletuslah sejumlah demonstrasi yang merayap bak api dalam sekam ke seantero Tunisia, yang kemudian menjadi revolusi nasional. Pasukan diturunkan atas perintah Sang Diktator agar memberangus dan membantai para demonstran. Akan tetapi, pasukan justru mengkhianatinya, dan berbalik melindungi rakyat dari oknum-oknum militer pendukung presiden.
Ben Ali pun kabur setelah keadaan semakin kacau dan tak terkendali. Pemerintahan akhirnya dipegang oleh PM Mohamed Ghannouchi, sebagai presiden sementara. Ia mengumumkan kondisi darurat, memberlakukan jam malam sejak pukul 5 sore hingga 7 pagi, dan melarang berkumpulnya tiga orang atau lebih secara mutlak.
Singkat cerita, di penghujung tahun 2011, terpilihlah Moncef Marzouki sebagai presiden Tunisia ke-4. Presiden yang berlatar belakang dokter ini memang terkenal sebagai pejuang HAM. Akan tetapi sayang, dalam pidato kepresidenannya, ia memuji keberhasilan Bourgiba dkk. sebagai peletak asas-asas pemerintahan modern, dan memuji keberhasilannya dalam pemerataan pendidikan, pembebasan kaum wanita, dan perbaikan taraf hidup rakyat Tunisia.
Sayang sekali… kepergian Ben Ali ternyata digantikan oleh orang yang berhaluan sekuler seperti ini. Ala kulli haal, takdir Allah pasti terjadi… dan pasti mengandung hikmah dan pelajaran di baliknya.
Rakyat tak bisa dipaksa untuk fakir dan kafir sekaligus
Salah satu pelajaran penting dari peristiwa ini adalah, ketika rakyat dipaksa untuk menjadi kafir dan fakir sekaligus; mereka pasti memberontak kepada penguasa. Rakyat mungkin saja ‘sabar’ untuk dijauhkan dari agama selama dunianya terjamin. Atau dijauhkan dari dunia selama agamanya terpelihara. Namun ketika keduanya dirampas, maka mustahil ia tinggal diam…
Ketika revolusi Perancis berhasil merampas pengaruh agama Nashrani dalam kehidupan warganya, ia mengganti mereka dengan kemakmuran dunia, sehingga rakyat Eropa pun ‘puas’ dan ‘reda’. Andai saja revolusi tersebut tidak menjamin kemakmuran dunia mereka, pastilah mereka memberontak lagi… sebab manusia tidak akan sabar jika kehilangan agama dan dunianya sekaligus.
Akan tetapi, banyak penguasa kaum muslimin yang mempertaruhkan kesejahteraan rakyat demi kepentingan pribadi. Mereka memberi berbagai kemudahan kepada perusahaan asing untuk menggerogoti kekayaan bangsa dan negara. Lihatlah bagaimana para pemimpin menumpuk kekayaan di atas penderitaan rakyatnya… Dengan dalih kerjasama, tak sedikit aset negara yang mereka jual kepada para investor. Tak cukup sampai di situ, pemerintah bahkan membuka perdagangan bebas, sehingga barang-barang impor membanjiri pasar lokal. Akibatnya, produk-produk lokal pun tak laku. Seperti kata pepatah, sudah jatuh terhimpit tangga pula. Para pengrajin yang ngos-ngosan mencari sesuap nasi, kini terancam jadi pengangguran. Mereka merasa terjajah di negeri sendiri, dan ironisnya: oleh bangsa sendiri.
Dalam kondisi seperti ini, umat Islam bisa saja bersabar menghadapi himpitan ekonomi, selama agama mereka tak dinodai. Mereka yakin, bahwa walaupun hidupnya serba susah ketika di dunia, toh Allah menjanjikan surga bagi mereka di akhirat nanti. Namun jika agama mereka dinodai, lalu kekayaan mereka dirampas… maka apa fungsinya keberadaan penguasa? Yang akan muncul hanyalah revolusi dan amuk massa, persis seperti yang terjadi di Tunisia.
sepilisKarenanya, gerakan Sepilis[26] yang didukung oleh Amerika Serikat dan Eropa di negara-negara mayoritas muslim, harus diwaspadai. Selama ini, mereka demikian leluasa menyebarkan pemikiran busuknya lewat berbagai media massa. Dan lagi-lagi, pemerintah terkesan mendiamkan, atau bahkan merestui.
Para aktivis Sepilis sedikitpun tidak pernah memikirkan nasib rakyat. Bahkan nasib penguasa pun mereka pertaruhkan demi menyukseskan program jahat sang majikan. Mereka ibarat anjing peliharaan yang menggonggong demi kepentingan tuannya, dan bahkan siap mati demi yang memberi makan. Hal ini terbukti ketika Ben Ali yang selama ini berkhidmat demi kepentingan Perancis, justru ditolak untuk melarikan diri ke Perancis setelah terguling.
Perancis sama sekali tak mau menerima Ben Ali yang selama 23 tahun menjadi tangan kanannya dalam mensekulerkan rakyat Tunisia. Subhaanallaah, alangkah hinanya anjing-anjing tersebut di mata tuannya ! Ben Ali yang selama ini berjuang memberangus semua atribut Islam, mulai dari jenggot, jilbab, poligami, hingga adzan; ternyata tak mendapat tempat aman untuk berlindung dari amukan rakyatnya… tidak di Eropa, tidak pula di Amerika… namun justru di negara yang menerapkan syariat Islam yang selama ini dimusuhinya, dan itu pun dengan syarat-syarat ketat.
Pelajaran 6: Makar Allah terhadap Penguasa Zhalim
nmusa-belah-lautBetapapun kuat seorang diktator, bila Allah menghendaki kejatuhannya, maka ia akan jatuh dengan cara yang tak terduga sama sekali. Demikianlah sunnatullah terhadap para penguasa lalim. Mereka dihinakan oleh orang-orang terdekatnya, dan tumbang akibat kesalahan mereka sendiri.
Ingatkah kita dengan kisah Fir’aun yang menindas Bani Israel sekian lamanya? Ia menyembelih setiap bayi laki-laki dari Bani Israel, dan memperbudak mereka. Akan tetapi akhirnya ia binasa di tangan anak asuhnya sendiri.
Benar. Ia yang selama ini membantai setiap bayi lelaki Bani Israel, ternyata justru memelihara Nabi Musa yang kelak menjadi seteru utamanya. Ibunda Nabi Musa demikian khawatir bila bayinya sampai jatuh ke tangan mata-mata Fir’aun, lalu harus berakhir hidupnya demikian singkat.
Firaun-atau-Ramses-IIAkan tetapi, Allah memiliki skenario lain. Tak ada tempat yang lebih aman bagi si Bayi di negeri Mesir, melebihi istana Fir’aun sendiri. Karenanya, dengan cara yang luar biasa, Allah mengirim bayi tersebut hingga sampai ke tangan Fir’aun.
Yang lebih hebat lagi, Fir’aun yang selama ini demikian bengis terhadap bayi-bayi tak berdosa, kini harus disibukkan oleh bayi yang kelak akan menumbangkan kekuasaannya. Musa kecil menolak setiap wanita yang disuruh menyusuinya. “Kami haramkan atasnya (Musa) semua puting susu sebelum itu, maka saudarinya berkata, “Maukah kalian kutunjukkan sebuah keluarga yang bisa mengasuh dan memeliharanya dengan baik? Maka kami kembalikan ia (Musa) kepada ibunya agar ia menjadi tenteram dan tidak bersedih…” (Al Qasas 28:12-13).
Subhaanallaah. Musa sengaja dijadikan oleh Allah agar tak mau disusui oleh siapa pun selain ibu kandungnya. Akhirnya, sang ibunda yang awalnya demikian sedih dan cemas tatkala harus menaruhnya di sebuah peti, lalu melepaskannya di sungai Nil, kini merasa tenteram karena bersua dengan puteranya. Bahkan ia bisa mengasuh bayinya dengan leluasa karena semua biaya perawatan telah ditanggung. Oleh siapa? Oleh orang yang kelak demikian memusuhinya, yaitu Fir’aun ! “Kami hendak menunjukkan kepada Fir’aun, Haman, dan bala tentara mereka apa yang selama ini mereka takutkan dari Bani Israel” (Al Qasas 28:6). Artinya, Allah hendak menunjukkan kepada orang-orang zhalim tersebut, bahwa apa yang selama ini mereka cemaskan berupa lenyapnya kekuasaan dan terbunuhnya mereka di tangan Bani Israel, benar-benar akan terjadi.
kereta-firaunNamun lihatlah bagaimana tipu daya Allah terhadap mereka. Semua bayi yang dianggap tersangka penumbang kekuasaan Fir’aun mereka bunuh, namun pelaku sebenarnya justru mereka pelihara. “Mereka membuat tipu daya sedangkan Allah juga membuat tipu daya, dan Allah-lah sebaik-baik pembuat tipu daya”.
Si Tiran Bourgiba sengaja mengangkat Ben Ali sebagai orang dekatnya. Ia jauh-jauh mendatangkannya dari Polandia untuk kemudian mengkudeta dirinya. Fir’aun Mesir sengaja memelihara bayi Musa setelah membunuh ribuan bayi laki-laki Bani Israel. Namun bagaimana kesudahannya? Justru Fir’aun tenggelam akibat ketukan tongkat Musa ‘alaihissalaam, mantan anak asuhnya sendiri. “Allah menurunkan adzab kepada mereka dari arah yang tak mereka duga sama sekali” (Al Hasyr 59:2).
Gaddafi yang selama ini mencap rakyatnya sebagai tikus-tikus gurun, dan bersumpah hendak membersihkan bumi Libya dari para pemberontak jengkal demi jengkal, dan rumah demi rumah… akhirnya justru tertangkap berlindung dalam selokan bak seekor tikus got ! Sambil diseret-seret, ia menerima cacian dan umpatan serta tamparan dari mereka yang selama ini disebutnya sebagai ‘tikus-tikus gurun’.
Satu persatu dari orang-orang dekatnya pun berlepas diri darinya. Mereka yang dahulu adalah kawan setia berbalik menjadi lawan utama. Mengapa? Sebab mereka telah menjadi target amuk massa dan sasaran para demonstran yang murka, akibat keterkaitan mereka dengan para diktator yang sekarat tersebut. Mereka akan menjadi sekutunya dalam penderitaan, setelah sebelumnya menjadi sekutunya dalam kenikmatan.
roda-kereta-firaunSungguh aneh ketika mendengar statemen-statemen para pemimpin Liga Arab, yang menyerukan agar Ben Ali mengapresiasi keinginan rakyatnya… tapi mengapa mereka tidak mengapresiasi keinginan rakyat Tunisia kecuali setelah rezim Ben Ali di ambang keruntuhan? Padahal selama hampir seperempat abad ia menerapkan berbagai tindak represif dan terror atas warganya, dan selama itu pula ia selalu mendapat sambutan dan penghormatan oleh mereka?! Mengapa mereka tidak sadar akan nasib rakyatnya masing-masing, agar rakyat tidak murka dan memperlakukan mereka sebagaimana perlakuan rakyat Tunisia terhadap penguasanya?!!
Kalaulah kehinaan tersebut menjerat si diktator saat perabuannya dilengserkan di dunia, dan semua orang berbalik menjadi musuhnya… lantas bagaimana kehinaan yang menantinya di akhirat kelak? Alangkah dahsyat dan mengerikan peristiwa hisab yang harus dilaluinya, dan setelah itu berbagai siksa pedih datang menyambutnya silih berganti…
roda-kereta-firaun1
Bagaimana kiranya saat ia menyaksikan antrian orang-orang yang selama ini dizhaliminya, dan masing-masing menuntut hukuman qisas atasnya… Ya Allah, sungguh mengerikan! Siapa yang mengingat momen tersebut, niscaya lisannya takkan berhenti beristighfar dan menyadari betapa berat pengadilan akhirat itu.“Kelak kamu akan melihat betapa tunduk dan hinanya orang-orang zhalim itu saat dihadapkan kepada Neraka. Mereka melirik Neraka tadi dengan hati kecut dan penuh rasa takut. (Tatkala menyaksikan kondisi mereka) orang-orang yang beriman mengatakan, Sesungguhnya yang benar-benar rugi adalah mereka yang merugi diri dan keluarganya pada hari kiamat. Sungguh, orang-orang yang zhalim itu benar-benar berada pada siksaan yang abadi” (Asy Syura 42:45). Andai bukan karena lemahnya iman dan tingginya tingkat kelalaian, niscaya tak seorang mukmin pun yang tertarik pada kekuasaan.

Referensi:
  1. Lihat: Syadzaraat Adz Dzhahab 1/51.
  2. Beliau mengatakannya dalam acara Liqa’ al-baabil maftuh. Yaitu acara pertemuan antara beliau dengan masyarakat umum untuk tanya-jawab, yang diadakan di rumah beliau. Penjelasan ini disampaikan dalam pertemuan ke-50 dari total 236 pertemuan.
  3. Ini adalah atsar Abu Ishaq As Sabi’iy, salah seorang ulama tabi’in asal Kufah yang terkenal sebagai ahli hadits dan ahli ibadah. Beliau lahir dua tahun menjelang berakhirnya kekhalifahan Utsman, dan wafat sekitar tahun 129 H. keluasan ilmu beliau di bidang hadits disejajarkan dengan Imam Ibnu Syihab Az Zuhri.
  4. Lihat: Miftaah Daaris Sa’aadah (2/168-169).
  5. Dr. Ahmad an-Naqieb adalah salah seorang Syaikh salafi di Mesir. Hal ini beliau sampaikan dalam salah satu dars-nya saat Mesir sedang rusuh oleh berbagai aksi unjuk rasa dan kerusuhan menjelang lengsernya Presiden Husni Mubarak.
  6. Lihat: As Sierah An Nabawiyyah, oleh Ibnu Hisyam (2/131-133). Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari berbagai jalur, dan semuanya dengan sanad yang terputus (mursal). Akan tetapi, riwayat-riwayat lemah seperti ini dalam sirah nabawiyah masih ditoleransi oleh para ulama. Apalagi Ibnu Ishaq adalah Imam dalam hal maghazi dan sirah nabawiyyah.
  7. Peristiwa berdarah ini merupakan operasi militer terbesar yang dilancarkan Presiden Hafizh Assad terhadap Ikhwanul Muslimin di Suriah. Pembantaian kaum muslimin ini terjadi mulai tanggal 2 Februari 1982 di kota Hamah, Suriah. Dan berlangsung hingga 27 hari berikutnya. Warga Hamah dikepung lalu digempur dengan menggunakan senjata berat, artileri, dan mortir hingga puluhan ribu jiwa menjadi korban. Kronologi selengkapnya bisa dibaca di:مجزرة_حماة
  8. Sebuah kota kecil di selatan ibukota Riyadh sekarang, yang dahulu merupakan ibukota Daulah Su’udiyyah I dan II. Daulah Su’udiyyah pernah berdiri dua kali. Periode pertama (1744-1818 M) adalah periode keemasannya. Kemudian disusul dengan periode kedua (1824-1891 M). Dan kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi (1926-Sekarang).
  9. Lihat: ‘Unwaanul Majd, fi Tariekhi Najd (1/44), karya Al ‘Allamah Utsman bin Abdillah bin Bisyr. Sebagaimana yang dinukil dalam (الأطلس التاريخي للمملكة العربية السعودية ص 100). Syaikh Utsman bin Abdillah bin Bisyr adalah sejarawan Nejed yang hidup pada masa Daulah Su’udiyyah I.
  10. Lihat: Liqaa’ al Baabil Maftuh, no 179.
  11. Lihat: الثورة_التونسية
  12. Lihat: Al Jazeera
  13. Lihat:  Al Jazeera
  14. Sebagian kalangan menganggap bahwa pemberontakan yang tidak boleh dilakukan ialah pemberontakan bersenjata. Namun yang benar ialah bahwa pemberontakan (khuruj) bisa terjadi dengan keyakinan maupun perbuatan. Contoh khuruj dengan keyakinan (pemikiran) ialah dengan tidak mau berbaiat, dan meyakini bolehnya atau wajibnya khuruj terhadap penguasa muslim. Para salaf sering mencela orang yang khuruj dengan cara seperti ini dengan istilah ‘kaana yara as-saif’.  Sedangkan jenis kedua, ialah orang yang mengangkat senjata melawan pemimpinnya. Seperti dengan berkumpul di suatu tempat dengan maksud melengserkan pemimpin atau menggantinya, atau dalam rangka membikin kekacauan dan fitnah yang melaluinya si penguasa akan terbunuh atau disingkirkan. Artinya, semua perbuatan yang mengarah kepada pemberontakan, atau berusaha membunuh dan melengserkan penguasa, termasuk kategori khuruj yang kedua.  Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa khuruj juga bisa terjadi lewat ucapan. Yaitu bila ia mengatakan sesuatu yang berakibat pada terjadinya pemberontakan. Namun jika ia mengatakan sesuatu dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar sesuai aturan syar’i tanpa menimbulkan fitnah; maka tidak dianggap sebagai khuruj (lihat: Syarh Aqidah Ath Thahawiyyah oleh Syaikh Shalih Alusy Syaikh).  Contoh orang-orang yang dikritik karena berpemikiran khawarij ialah: Hasan bin Shalih bin Hay, Ali bin Abi Thalhah, ‘Imran bin Dawar Al Qaththan, Muhammad bin Rasyid Al Makhuly, dan Imam Abu Hanifah.
  15. Lihat: Tariekhul Islam 2/759-764. Para sahabat yang masih hidup saat Hajjaj berkuasa di Haramain contohnya: Abu Sa’id Al Khudri, Rafi’ bin Khadiej, dan Salamah bin Akwa’ mereka semua wafat th 74 H. Kemudian ‘Irbadh bin Sariyah, dan Abu Tsa’labah Al Khusyani (keduanya wafat th 75 H). Sedangkan yang tetap hidup hingga Hajjaj pindah ke Irak, adalah Jabir bin Abdillah dan Zaid bin Khalid Al Juhani (keduanya wafat th 78 H).  Hajjaj lantas menjadi gubernur Irak selama 20 tahun kemudian, padahal di sana terdapat sahabat terkenal Anas bin Malik Al Anshari, dan sejumlah tokoh Tabi’in seperti Hasan Al Basri, Sa’id bin Jubair, Asy Sya’bi, dll.
  16. Ali bin Abi Thalib, Ibnu Zubeir, dan Ibnul Asy’ats adalah orang-orang yang pernah berseteru dengan Bani Umayyah, sedangkan Hajjaj adalah kaki tangan Bani Umayyah yang demikian loyal, sehingga memusuhi setiap orang yang dianggap berseberangan dengan ‘majikannya’.
  17. Kisah ini diriwayatkan oleh At Thabrani dlm Al Mu’jamul Kabir (no 704) dan Ibnu Asakir dlm Tarikh Dimasyq (9/372) dengan sanad yang hasan hingga Ali bin Zaid bin Jud’an. Ibn Jud’an adalah orang yang jujur namun lemah hafalannya. Kisah ini juga diriwayatkan oleh Mu’afa bin Zakariya dlm Al Jalis As Shalih (3/151) dari Jalur Hisyam bin Muhammad bin Sa-ib Al Kalbi, dari ‘Awanah bin Hakam Al Kalbi dengan redaksi yang mirip. Semua perawi dalam sanad yang kedua ini tergolong tsiqah kecuali Hisyam Al Kalbi yang dianggap matruk walaupun hafalannya sangat luas dan tergolong ahli sejarah.  Bila diperhatikan, kelemahan yang ada pada Ibnu Jud’an bisa ditoleransi mengingat ia menyaksikan langsung peristiwa tersebut, dan hal ini lebih melekat pada ingatan daripada sekedar mendengar. Apalagi kisah yang senada juga diriwayatkan oleh ahli sejarah terkenal -walaupun dianggap matruk dalam hal hadits-, yaitu Hisyam Al Kalbi. Intinya kisah ini bisa diterima. Al Mizzi juga meriwayatkan kisah ini dari jalur Ibnu Jud’an dengan lafazhjazm (Qaala), yang berarti bahwa sanad kisah ini laa ba’sa bihi (tidak bermasalah) menurut beliau (lihat: Tahdzibul Kamal 3/373).
  18. Lihat kisah selengkapnya dalam Al Jalis Ash Shalih (3/151-153) dan Tarikh Dimasyq
  19. Al-Mustadrak 3/574, dengan sanad yang hasan. Fitnah yang pertama maksudnya peperangan antara Ali dengan Mu’awiyah, atau antara pasukan Syam yang dipimpin oleh Hajjaj melawan Ibnu Zubeir. Sedangkan fitnah yang terakhir maksudnya adalah pemberontakan Ibnul Asy’ats beserta warga Irak melawan Bani Umayyah.
  20. Diriwayatkan oleh Al Hakim dlm Mustadrak-nya dengan sanad yang sama, dari penuturan Muhammad bin Mughirah. Menurut  Hisyam Al Kalbi, surat Anas terhadap Abdul Malik bunyinya adalah: “Bismillahirrahmanirrahiem, untuk Abdul Malik bin Marwan dari Anas bin Malik… Amma ba’du, Hajjaj telah mengucapkan kata-kata keji dan memperdengarkan sesuatu yang munkar kepadaku, padahal aku tidaklah seperti itu. Maka tahanlah dia dariku sebab aku merupakan pembantu serta sahabat Rasulullah. Wassalaam” (Lihat: Al Bidayah wan Nihayah 9/153).
  21. HR. Ahmad (no 12838) sebagaimana lafazh di atas, dan Bukhari (no 6657).
  22. Al Bidayah wan Nihayah 9/155.
  23. Idem.
  24. Al Bidayah wan Nihayah 9/66.
  25. Disadur dari artikel berjudul (سقط طاغوت تونس.. فهل يعتبر كل طاغوت!؟) oleh Ibrahim bin Muhammad Al Haqiel, dengan banyak perombakan. Beberapa pelajaran selanjutnya juga diilhami dari artikel ini.
  26. Singkatan dari sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.