Minggu, 05 Oktober 2014

Dokumentasi Penyembelihan Hewan Qurban 1434

______________________________________________
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah pada hari Ahad 5 Oktober 2014 Yayasan Al Ikhlas Moga-Pemalang telah mengadakan penyembelihan hewan Qurban. Hewan qurban yang disembelih sebanyak 1 ekor sapi dan 2 ekor kambing.














Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

Jumat, 29 Agustus 2014

Antara Halal & Haram Ada Syubhat

___________________________________


Dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وإنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ ، وبَينَهُما أُمُورٌ مُشتَبهاتٌ ، لا يَعْلَمُهنّ كثيرٌ مِن النَّاسِ ، فَمَن اتَّقى الشُّبهاتِ استبرأ لِدينِهِ وعِرضِه ، ومَنْ وَقَعَ في الشُّبُهاتِ وَقَعَ في الحَرَامِ ، كالرَّاعي يَرعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أنْ يَرتَعَ فيهِ ، ألا وإنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى ، ألا وإنَّ حِمَى اللهِ محارِمُهُ ، ألا وإنَّ في الجَسَدِ مُضغَةً إذا صلَحَتْ صلَحَ الجَسَدُ كلُّه ، وإذَا فَسَدَت فسَدَ الجَسَدُ كلُّه ، ألا وهِيَ القَلبُ
“Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat), yang tidak diketahui oleh banyak manusia. Barangsiapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat itu berarti dia terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan (binatang ternaknya) di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir dia akan masuk menggembalakan (binatang ternaknya) di daerah tersebut. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki daerah terlarang. Ketahuilah bahwa daerah terlarang milik Allah adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah, bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka akan menjadi baik seluruh tubuh, dan jika buruk menjadi buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa itu adalah hati.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas adalah salah satu hadits yang menjadi pondasi dasar agama Islam. Imam Ahmad rahimahullah pernah mengatakan, “Pondasi dasar agama Islam ada pada tiga hadits: hadits Umar (Sesungguhnya semua amalan dengan niat), hadits Aisyah (barangsiapa membuat-buat hal baru dalam urusan kami yang bukan termasuk padanya, pasti tertolak) dan hadits Nu’man bin Basyir, (Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas).”

Selasa, 08 Juli 2014

Kompetisi Sejati di Bulan Suci

------------------------------------

Jangan sampai piala dunia pada tahun ini melupakan kita untuk merebut piala akhirat di bulan Ramadhan.

PIALA adalah simbol puncak prestasi dan kebahagiaan. Orang yang mendapat piala berarti orang yang berprestasi.  Orang yang berprestasi pasti kondisi jiwanya dalam keadaan bahagia. Nah, jika ada piala dunia tentu ada piala akhirat.
Piala dunia merupakan simbol dari puncak prestasi di dunia, berupa cawan emas atau perak sebagai hadiah pemenang dalam olahraga. Khususnya olahraga sepak bola. Sedangkan piala akhirat merupakan simbol puncak prestasi amalan di dunia untuk akhirat, berupa surga Allah dengan aneka kenikmatannya.
Untuk mendapatkan piala dunia, penduduk dunia memiliki waktu sekali selama empat tahun dengan melalui seleksi dan kompetisi yang ketat antarklub sepak bola berbagai negara. Negara yang tak lolos seleksi, maka gagal ikut kompetisi piala dunia. Sebaliknya, untuk memperoleh piala akhirat Allah memberi kesempatan sama kepada manusia di bumi. Setiap manusia adalah peserta kompetisi piala akhirat itu.
Allah berfirman:
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ
“Dan setiap umat memiliki kiblatnya yang ia menghadap kepadanya. Maka berkompetisilah dalam kebaikan.” (QS Albaqarah: 148).
Ayat ini menjelaskan bahwa setiap umat atau manusia diberi kesempatan sama oleh Allah untuk berkompetisi dalam kebaikan. Siapa pun berhak merebut piala akhirat tanpa melihat rupa, harta, dan status negara.
Meskipun demikian, tentu tidak setiap peserta kompetisi kebaikan itu akan meraih piala akhirat (surga). Sebagaimana tidak semua negara yang berkompetisi dalam sepak bola dunia akan mendapatkan piala. Untuk meraih piala akhirat, syarat utama peserta dalam kompetisi kebaikan itu harus dalam kondisi beriman.
Allah berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang beramal sholeh (kebajikan), baik laki-laki maupun perempuan dalam kondisi beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS: An Nahl: 97).
Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan kehidupan yang baik (hayaatan thoyyibah) pada ayat ini adalah surga Allah.
Momentum Ramadhan
Oleh sebab itu, bulan Ramadhan adalah momentum terbaik bagi kaum Muslimin untuk berkompetisi meraih piala akhirat. Ada beberapa alasan; Pertama, karena bulan Ramadhan adalah bulan yang berkah (HR Ahmad).
Berkah berarti memiliki nilah tambah atau lebih, yang tak pernah Allah berikan pada bulan lainnya. Apapun amal soleh yang dilakukan seorang Muslim di bulan Ramadhan, maka dilipatgandakan pahalanya dan langsung Allah yang membalasnya (HR Bukhari dan Muslim).
Kedua, di bulan Ramadhan pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu (HR Muslim). Hal ini merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada umat Islam, sehingga dengan itu agenda pesta spritualitas di bulan Ramadhan untuk meraih piala akhirat berjalan lebih mudah dan lancar.
Ketiga, di bulan Ramadhan ada shiyam (puasa) dan qiyam (shalat malam). Dengan melaksanakan puasa dan shalat malam (tarawih) yang didasari keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah, maka dosa-dosa akan diampuni (HR Muttafaq ‘Alaihi). Kalau dosa-dosa diampuni berarti jaminan untuk mendapatkan kemudahan meraih surga yang dijanjikan.
Keempat, di bulan Ramadhan ada malam yang keutamaannya lebih baik dari 1000 bulan, yaitu malam kemuliaan (lailatul qadar). Pada malam itu penuh dengan keberkahan, kehidupan di bumi diatur, dijelaskan, dan disejahterakan hingga terbitnya fajar. Dan pada malam itu pulalah Allah telah menurunkan permulaan ayat Alquran sebagai pedoman dan petunjuk kehidupan manusia (lihat QS Al Qadar: 1-5 dan Ad Dukhan: 3-4).
Kompetisi sejati
Perhelatan piala dunia yang bersamaan dengan bulan Ramadhan tahun ini sangat berpotensi mengganggu kekhusyukan umat Islam beribadah di dalamnya. Terutama yang ‘gila’ bola. Memang tidak ada ulama atau dalil yang mengharamkan menonton sepak bola selama tidak ada unsur yang melanggar syariat agama.
Namun realitasnya, larangan syariat agama itu justru banyak dilakukan saat kompetisi sepak bola, apalagi sekelas piala dunia berlangsung. Gara-gara begadang menonton piala dunia di malam hari, akhirnya meninggalkan kewajiban shalat subuh, kesehatan badan terganggu, melalaikan tugas atau pekerjaan di siang hari, fanatik buta, dan munculnya pujian berlebihan terhadap pemain kafir. Bahkan tidak jarang terjadi perjudian, perkelahian, dan hilangnya nyawa gara-gara bola.
Oleh sebab itu, penting bagi umat Islam menyikapi piala dunia secara dewasa dan bijkasana. Jangan sampai piala dunia pada tahun ini melupakan kita untuk merebut piala akhirat di bulan Ramadhan. Euforia beramal untuk piala akhirat di bulan Ramadhan harus mengalahkan euforia menonton piala dunia.
Allah telah mengingatkan, bahwa kompetisi untuk akhirat itulah yang lebih utama; Dan sungguh, akhirat itu lebih utama bagimu dari pada dunia (QS Ad Dhuha: 4). Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ  إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu.” (QS Al Qasas: 77); Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal (QS Al A’la: 17).
Nah, tentu umat Islam peserta kompetisi piala akhirat yang bermain ‘cantik’ dan ‘professional’ selama Ramadhan—bukan malah menjadi penonton yang makan di siang hari–yang akan berpeluang menjadi pemenang. Di akhir Ramadhan para pemenang ini layak mengekspresikan kemenangannya dengan bertakbir; Allaahu Akbar! Allaahu Akbar! Semoga. Wallahu A’lam.
 --------------------------------------------------------------------------------------------
Oleh: Lidus Yardi
Guru PAI dan Sekretaris Majelis Tabligh PD Muhammadiyah Kuansing, Riau
 ------------------------------------------------
Sumber : Hidayatullah.com

Keutamaan shalat malam dalam Al-Qur'an

----------------------------------------------------


Shalat malam adalah shalat sunnah yang sangat dianjurkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Shalat malam adalah kebiasaan yang senantiasa dipelihara oleh para nabi dan orang-orang shalih.
Pengertian shalat malam
Al-Qur’an dan as-sunnah mempergunakan beberapa istilah untuk shalat malam, yaitu; shalat al-lail, qiyam al-lail, at-tahajjud dan an-nasyiah. Qiyam al-lail dan shalat al-lail merupakan istilah yang paling banyak dipakai dan paling terkenal, yang secara harfiah bermakna bangun malam dan shalat malam. Adapun istilah tahajjud dan an-nasyiah lebih jarang dipergunakan.

Selasa, 27 Mei 2014

PELATIHAN MUBALIGH

--------------------------------------

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Yayasan AL-IKHLAS Moga-Pemalang sebagai yayayan Sosial Pendidikan Dan Dakwah pada tanggal 24 Rajab 1435 H bertepatan pada tanggal 24 Mei 2014 M telah menyelenggarakan "PELATIHAN MUBALIGH" bertempat di Mushola Baitul Mualim Banyumudal Moga. Penyelenggaraan kegiatan ini bertujuan untuk membentuk da'i yang beraqidah islam sesuai pemahaman salafussholeh, berakhlak mulia yang siap mengajak umat kepada pemahaman yang benar tengtang Islam baik dari sisi aqidah, ibadah, akhlak, maupun mualah. 
Berikut ini beberada dokumentasi pelaksanaan kegiatan PELATIHAN MUBALIGH  :

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Minggu, 18 Mei 2014

MUTIARA AKIDAH

---------------------------------
Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Ruhul Qudus meniupkan ke dalam hatiku bahwa jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan cukup rizqinya. Bertaqwalah kepada Allah dan perbaguslah dalam meminta. janganlah terlambatnya risqi menyebabkan seseorang di antara kalian memintanya dengan maksiat. Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah tak akan diraih kecuali dengan mentaatiNya." (HR. Abu Nuaim, dishahihkan oleh Al-Albani rhm dalam shahih al- jami' -2085)
---------------------------------
Al-Qolam Kr-Moncol

Jumat, 16 Mei 2014

MUTIARA KISAH

-----------------------
Seorang laki-laki menemui Umar bin Khatab ra. memberitahu bahwa ibunya telah lumpuh. Ia selalu menggendongnya ke kamar kecil serta melindunginya dari bahaya. Ia bertanya kepada Umar: "Apakah aku telah menunaikan haknya?" Umar menjawab: "Belum." Ia bertanya:"Mengapa?" Umar menjawab:" Karena kamu merawatnya, namun kamu mengharap kematiannya, sedangkan ia dulu merawatmu saat kamu kecil, melindungi dari bahaya dan mengharap kamu tetap hidup" (Shahih Adabul Mufrad)
__________________
Al-Qolam Kr-Moncol

Risau Hati Saat Catatan Amal Dibagi

Oleh : Abu Umar Abdillah
______________________
Setelah lama berdiri di makhsyar disertai peluh keringat yang membanjiri manusia, maka mereka saling berembug tentang cara mereka selamat dari kegerahan dan kegundahan yang begitu dahsyat dan lama. Mereka tidak kuasa menahan dan memikul beban itu. Sebagian orang mengatakan kepada yang lainnya, “Apakah kalian tidak melihat kesusahan yang menimpa kalian? Apakah kalian tidak melihat apa yang kalian alami? Apakah kalian tidak melihat ada orang yang mampu memberi syafa’at untuk kalian kepada Rabb kalian?” Maka mereka mendatangi para Nabi untuk meminta syafaat, agar mereka memohon kepada Allah demi menyudahi keadaan mereka di makhsyar. Mereka datang kepada Nabi Adam alaihissalam, namun beliau mengelaknya. Lalu mereka datang kepada Nuh, Ibrahim, Musa maupun Isa alaihimussalam. Namun mereka semua mengelak dan tidak kuasa memberikan syafaat, sebagaimana kisah lengkapnya yang panjang disebutkan dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah .
Hingga akhirnya mereka mendatangi Nabi Muhammad dan beliaulah yang bisa memberi syafaat untuk semua manusia kepada Allah, Hingga hari keputusan pun segera digelar. Inilah yang disebut dengan syafa’atul ‘uzhma, syafaat agung dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam untuk seluruh umat manusia.

Selasa, 15 April 2014


BOLEHKAH BERSOLAWAT DENGAN IRINGAN MUSIK/ REBANA ?
Diposting : Abu Hilman AZ

Dalam kita mencari ilmu untuk beribadah berdasarkan apa yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, masih banyak yang keliru dalam memahami kaidah sebenarnya sebagai panduan dalam beribadah. Maka lahirlah begitu banyak perselisihan di dalam bab ini. Baik perselisihan dengan golongan Ahli Ahwa’ (golongan Rafhidhah yang menghalalkan bid’ah di dalam urusan agama) yang memang tersesat dari Manhaj Ahlus Sunnah maupun perselisihan sesama golongan yang berpaham atau bermanhaj Ahlus Sunnah.


Pembahasan di sini akan difokuskan kepada isu yang menjadi persoalan di dalam masyarakat, jik ada ahli ilmu atau pencinta ilmu dalam kalangan ahli ibadah, orang masjid yang melakukannya.

Kita sadar dan paham bahwa perkara yang dibahas ini adalah perkara khilaf yang telah terjadi perbedaan pandangan para ulama’ dahulu dan sekarang. Namun untuk menjelaskan isu ini, sebaiknya kita rujuk pandangan imam yang besar dan pandangan ulama’ dalam kalangan pendukung Madzhab Asy Syafi’i yang dekat dengan jiwa kita.

Membaca Shalawat Sambil Diiringi Rebana, Gendang,  Atau Alat Musik

Bolehkan shalawatan dengan iringan musik?

Perbuatan ini sama juga seperti membaca qasidah-qasidah atau sya’ir-sya’ir yang dinyanyikan dan diringi dengan pukulan kayu, rebana, atau seumpamanya. Bahkan lebih parah lagi sambil menggoyang-goyang badan, berpusing-pusing dan  menari-nari. Ia disebut dengan istilah as sama’ atau taghbir (sejenis syair berisi anjuran untuk zuhud di dunia yang dinyanyikan dengan sebagian hadirin memukul-mukul kayu pada bantal, kulit atau sebagainya sesuai dengan irama lagunya).

Sebagian pandangan ulama-ulama Ahlus Sunnah adalah sebagai berikut:

1. Imam Asy Syafi’i (Wafat 204 H)
Beliau berkata:
خلفت ببغداد شيئاً أحدثته الزنادقة يسمونه التغبير يصدون به الناس عن القرآن

“Di Iraq, aku meninggalkan sesuatu yang dinamakan taghbir. (Yaitu) perkara baru yang diada-adakan oleh Zanadiqah (orang-orang zindiq; menyimpang), mereka menghalangi manusia dari Al Quran.” (Riwayat Ibnul Jauzi, dalam Talbis Iblis).

Abu Manshur Al Azhari menyatakan bahwa al mughabbirah (pemain at taghbir) adalah sekelompok manusia yang menekuni dzikir kepada Allah dengan doa dan merendahkan diri kepada-Nya. Mereka lalu menamakannya sebagai sya’ir. Sambil mereka menyaksikannya, mereka menyanyi, bersenang-senang, dan menari (menggoyang-goyangkan badan). (Talbis Iblis)

Ulama’  menjelaskan perkataan Imam Asy Syafi’i tersebut dengan mengatakan:

وما ذكره الشافعي – رضي الله عنه – من أنه من إحداث الزنادقة – فهو كلام إمام خبير بأصول الإسلام؛ فإن هذا السماع لم يرغب فيه ويدعو إليه في الأصل إلا من هو متهم بالزندقة…ذكر أبو عبد الرحمن السلمي في مسألة السماع…..”
“Apa yang disebutkan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah (bahwa perbuatan tersebut merupakan hasil ciptaan para Zindiq), adalah suatu pandangan seorang imam yang ahli dalam ilmu ushul dalam Islam. Karena pada dasarnya, tidak ada yang menggalakkan dan menganjurkan nyanyian melainkan orang-orang Zindiq….. Sebagaimana yang disebutkan oleh Abdurrahman As Sulami dalam Mas’alah As Sama’ dari Ibnu Rawandi.” (Majmu’ Al Fatawa, 11/570).

Dalam kitabnya, Al  Umm, Imam Asy Syafi’i rahimahullah menegaskan lagi bahwa:

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى): “فِي الرَّجُلِ يُغَنِّي فَيَتَّخِذُ الْغِنَاءَ صِنَاعَتَهُ يُؤْتَى عَلَيْهِ وَيَأْتِي لَهُ، وَيَكُونُ مَنْسُوبًا إلَيْهِ مَشْهُورًا بِهِ مَعْرُوفًا، وَالْمَرْأَةُ، لَا تَجُوزُ شَهَادَةُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا؛ وَذَلِكَ أَنَّهُ مِنْ اللَّهْوِ الْمَكْرُوهِ الَّذِي يُشْبِهُ الْبَاطِلَ، وَأَنَّ مَنْ صَنَعَ هَذَا كَانَ مَنْسُوبًا إلَى السَّفَهِ وَسُقَاطَة الْمُرُوءَةِ، وَمَنْ رَضِيَ بِهَذَا لِنَفْسِهِ كَانَ مُسْتَخِفًّا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُحَرَّمًا بَيِّنَ التَّحْرِيمِ، وَلَوْ كَانَ لَا يَنْسُبُ نَفْسَهُ إلَيْهِ، وَكَانَ إنَّمَا يُعْرَفُ بِأَنَّهُ يَطْرَبُ فِي الْحَالِ فَيَتَرَنَّمُ فِيهَا، وَلَا يَأْتِي لِذَلِكَ، وَلَا يُؤْتَى عَلَيْهِ، وَلَا يَرْضَى بِهِ لَمْ يُسْقِطْ هَذَا شَهَادَتَهُ، وَكَذَلِكَ الْمَرْأَةُ.” (الأم للشافعي (6/ 226)- الشاملة).
“Seorang lelaki yang menyanyi dan menjadikannya sebagai pekerjaan, adakalanya ia diundang dan adakalanya ia didatangi sehingga ia dikenal dengan sebutan penyanyi, juga seseorang wanita (yang seperti itu), maka tidak diterima sumpah persaksiannya. Karena menyanyi termasuk permainan yang dibenci. Tetapi, adalah yang lebih tepat, siapa saja yang melakukannya, maka ia disebut sebagai orang dungu (bodoh) dan mereka termasuk orang yang sudah tiada harga diri (jatuh kehormatannya)…” (Asy Syafi’i, Al Umm, 6/226).

Dalam madzhab Asy Syafi’i sendiri dinyatakan bahwa: “Diharamkan menggunakan dan mendengar alat-alat musik seperti biola, gambus, shonji (yaitu dua piring tembaga yang saling dipukulkan agar menghasilkan bunyi), gendang, seruling, dan sebagainya. Setiap alat musik yang bertali adalah haram tanpa khilaf. Dibolehkan duff (rebana) bagi majlis resepsi pernikahan, berkhitan, atau sejenisnya. Nyanyian jika tanpa alat musik, hukumnya makruh (dibenci) dan jika dengan diiringi alat-alat musik hukumnya adalah haram.” (Lihat perbahasannya dalam kitab Mughni Al Muhtaj ila Ma’rifah Al Faz Al Minhaj, Kitab Asy Syahadat karya Imam Muhammad bin Ahmad bin Al Khathib Asy Syarbini).

2. Imam Ahmad
Saat ditanya tentang taghbir, beliau menjawab: “Bid’ah.” (Riwayat Al Khallal. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath Tharb, halaman 163).

3. Al Qadhi Abu Ath Thayib Ath Thabari (wafat 450H)
Beliau adalah seorang tokoh ulama’ Asy Syafi’i yang telah menyatakan bahwa: “Kelompok yang menyanyi untuk ibadah ini telah menyalahi jamaah Muslimin karena telah menjadikan nyanyian sebagai agama dan ketaatan. Iklan-iklan mereka terdapat di masjid-masjid, jami’ah dan semua tempat mulia.” (Mas’alah As Sama’, Ibnu Al Qayyim).

4. Imam At Tartusyi (wafat 520H)
Tokoh ulama’ Maliki dari kota Qurtubah ini ditanya tentang satu kelompok di suatu tempat yang membaca Al Quran, lalu seseorang di antara mereka menyanyikan sya’ir, kemudian mereka menari dan bergoyang. Mereka juga memukul rebana dan memainkan seruling. Apakah menghadiri majlis mereka itu halal atau tidak?

Beliau menjawab:
“Jalan mereka itu adalah batil dan sesat. Islam itu hanyalah kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya. Adapun menari dan berpura-pura menampakkan cinta (kepada Allah), maka yang pertama kali mengada-adakannya adalah kawan-kawan Samiri (pada zaman Nabi Musa). Yaitu ketika Samiri membuatkan patung anak lembu yang bisa bersuara untuk mereka, lalu mereka datang menari di sekitarnya dan berpura-pura menampakkan cinta (kepada Allah). Tarian itu adalah agama orang-orang kafir dan para penyembah anak lembu.

Adapun majlis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya penuh ketenangan, seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung. Maka seharusnya pemerintah dan wakil-wakilnya melarang mereka menghadiri masjid-masjid dan lainnya (untuk menyanyi dan menari). Dan bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, tidaklah halal menghadirinya. Tidak halal membantu mereka melakukan kebatilan. Demikian ini jalan yang ditempuh oleh (Imam) Malik, Asy Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, dan lainnya dari kalangan imam-imam kaum Muslimin.” (Tafsir Al Qurthubi 11/238 Syamilah. Lihat kitab Tahrim Alat Ath Tharb, halaman 168-169).

5. Imam Al Hafiz Ibnu Ash Shalah (wafat 643 H)
Beliau adalah imam terkenal penulis kitab Muqaddimah ‘Ulumil Hadits. Beliau juga ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan bertepuk-tangan. Mereka menganggapnya sebagai perkara halal dan qurbah (perkara yang mendekatkan diri kepada Allah), bahkan (katanya sebagai) ibadah yang paling utama.

فتاوى ابن الصلاح (2/ 499): مَسْأَلَة أَقوام يَقُولُونَ إِن سَماع الْغناء بالدف….
Kesimpulan jawaban beliau ialah: “Mereka telah berdusta atas nama Allah Ta’ala. Dengan pendapat tersebut, pandangan ini masyhur di kalangan golongan Bathiniyyah  yang Mulhidin (menyimpang). Mereka juga bertentangan dengan ijma’.

Siapa yang menentang ijma’, (ia) terkena ancaman firman Allah:

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“Dan siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” (An-Nisa:115).” (Fatawa Ibnu Ash Shalah, 2/499- Syamilah. Lihat: Kitab Tahrim Alat Ath Tharb, halaman 170).

6. Syaikh Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah rahimahullah
Beliau berkata: “Dan telah diketahui secara pasti dari agama Islam, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mensyariatkan kepada orang-orang shalih dan para ahli ibadah dari umatnya, agar mereka berkumpul dan mendengarkan bait-bait yang dilagukan dengan bertepuk tangan, atau pukulan dengan kayu (tongkat), atau rebana. Sebagaimana beliau  tidak membolehkan bagi seorangpun untuk tidak mengikuti beliau, atau tidak mengikuti apa yang ada pada Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Beliau tidak membolehkan, baik dalam perkara batin atau zahir, untuk orang awam atau untuk orang tertentu.” (Majmu’ Fatawa, 11/565. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath Tharb, halaman 165).

7. Fatwa Imam As Suyuthi rahimahullah (wafat 911H)
Beliau berkata,
ومن ذلك الرقص، والغناء في المساجد، وضرب الدف أو الرباب، أو غير ذلك من آلات الطرب. فمن فعل ذلك في المسجد، فهو مبتدع، ضال، مستحق للطرد والضرب؛ لأنه استخف بما أمر الله بتعظيمه، قال الله تعالى: (في بيوت أذن الله أن ترفع ” أي تعظم ” ويذكر فيها اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد أمر الله بتعظيمها، وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط، والثوم، والبصل، وإنشاد الشعر فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص فهو مبتدع، ضال مضل، مستحق للعقوبة.” (الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع – (ج 1 / ص 30) المكتبة الشاملة).
“Dan di antaranya adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duff (atau gendang) atau rebab (sejenis alat musik bertali seperti biola), atau selain itu dari jenis-jenis alat-alat musik.
Maka siapa yang melakukan perkara yang tersebut di dalam masjid maka dia adalah mubtadi’(pelaku bid’ah), sesat, perlu dihalau, dan boleh dipukul, karena dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan (yaitu menggagungkannya) dan disebut nama-Nya di dalamnya.” (An-Nur, 24: 36). Yaitu dibacakan kitab-Nya di dalamnya.

Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran, najis, anak-anak (dari mengotori masjid), ingus, bawang putih, bawang merah (memakannya kemudian ke masjid tanpa bersugi terlebih dahulu), nasyid-nasyid, sya’ir, nyanyian dan tarian di dalamnya. Maka siapa yang menyanyi atau menari di dalamnya maka dia adalah pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan, dan berhak dikenakan hukuman.” (Jalaluddin As Suyuthi, Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, halaman. 30 – Al Maktabah Asy Syamilah).

……
Penutup

Demikianlah penjelasan yang ringkas tentang masalah ini, kami nukilkan untuk maklumat dan penjelasan kepada masyarakat, lakukanlah amalan yang jelas ada dalil keharusannya, mencari yang benar dan tidak ada keraguan dalam beribadah adalah selamat sebagaimana yang diputuskan oleh para ulama’ bahwa الخروج من الخلاف مستحب  “Keluar dari perkara khilaf adalah dianjurkan.”

Perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
عن الحسن بن علي بن أبي طالب سبط رسول الله وريحانته رضي الله عنه قال: حفظت من رسول الله صلى الله عليه وسلم: (دعْ ما يرِيبُك إلى ما لا يريبُك ) رواه الترمذي وقال : حديث حسن صحيح .
“Tinggalkan apa yang kamu ragu kepada perkara tidak meragukan kamu.” (HR At Tirmidzi, hasan shahih)

Perbuatan ini adalah khilaf antara haram dengan harus, bukan antara afdhal dengan kurang baik. Alhamdulillah, jalan ibadah kepada Allah yang shahih banyak dan luas, kenapa mencari jalan yang kabur dan tidak jelas. Uslub untuk berdakwah dengan cara yang selamat masih banyak, tidak perlu menggunakan jalan yang meragukan keharusan amalnya, juga kesan akan keberhasilannya.

Dalam ibadah tidak memadai hanya niat yang baik tanpa mengikut syariat atau Sunnah. Niat yang baik mestilah diiringi dengan cara yang betul. Firman Allah SWT:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Dia-lah yang telah mentakdirkan adanya mati dan hidup – untuk menguji dan mennyatakan keadaan kamu: siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya; dan Ia Maha Kuasa (membalas amal kamu), lagi Maha Pengampun.” (Al Mulk 67:02)

Makna “lebih baik amalnya” (أحسن عملا ) ialah siapa yang amalannya paling ikhlas dan paling betul (أخلصه وأصوبه). Ini karena sesuatu amalan jika ikhlas tetapi tidak betul maka ia tidak diterima. Begitu juga sekiranya betul tetapi tidak ikhlas, maka ia tidak diterima juga. Betul di sini merujuk kepada apa yang ditunjukkan oleh Al Qur’an dan Al Sunnah.

Insan tanpa panduan Al Quran dan As Sunnah akan tersesat dalam menentukan cara ibadah kepada tuhan. Inilah yang terjadi di dalam agama-agama palsu. Mereka menciptakan cara ibadah menurut akal pikiran mereka tanpa petunjuk ajaran wahyu. Mereka tersesat jalan karena mendakwa kehendak tuhan dalam ibadah tanpa bukti, sekalipun mungkin mereka itu ikhlas. Keikhlasan tanpa diikuti dengan cara yang ditunjukkan oleh Al Quran dan As Sunnah tidaklah mendapat tempat.

Maka ibadah mestilah tepat dengan apa yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berdalilkan apa yang disebut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika benar kamu mengasihi Allah maka ikutilah daku, nescaya Allah mengasihi kamu serta mengampunkan dosa-dosa kamu. Dan (ingatlah), Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.” (Ali Imran 3:31)

Ibadah yang tidak mengikut cara yang ditunjukkan oleh baginda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sekalipun niat pengamalnya baik, adalah tertolak. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka tidak akan diterima daripadanya, dan dia pada hari akhirat kelak dari orang-orang yang rugi.” (Ali Imran 3:85)

Berkata Al Imam Ibn Katsir rahimahullah (774H) ketika menafsirkan ayat di atas: “Siapa yang melalui suatu cara yang lain dari apa yang disyari‘atkan oleh Allah, maka sama sekali iaa tidak diterima.” (Tafsir Ibn Katsir).

Dalam hal ini Dr. Yusuf Al Qaradhawi juga mengingatkan:
“Hendaklah seorang Muslim dalam ibadahnya mengikut batasan yang ditentukan untuknya. Tidak mencukupi hanya sekadar bertujuan untuk keridhaan Allah semata, bahkan hendaklah ibadah itu dilakukan dalam bentuk yang disyariatkan Allah, dengan kaifiyyat (tatacara) yang diridhai-Nya. Janganlah ibadah seorang Muslim itu ialah apa yang yang direka oleh manusia berdasarkan hawa nafsu dan sangkaan.” (Yusuf Al Qaradhawi, Al `Ibadah fi Al Islam).

Semoga kita mendapat bimbingan dan rahmat dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, Alhamdulillah Rabbil ‘alamin.


SEKIAN SEMOGA BERMANFAAT!!