Sejarah Hitam Dibalik 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional
Diposting : Abu Astri
Tanggal
20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional didasarkan atas peristiwa berdirinya
Boedi Oetomo. Sedangkan para tokoh BO (Boedi Oetomo) adalah pengikut
Theosofi (sebuah perkumpulan kebatinan yang berlandaskan pada tradisi Kabbalah
Yahudi), anggota Freemasonry dan Melecehkan Islam.
Sistem
pendidikan yang dianut dalam BO (Boedi Oetomo) sendiri adalah adopsi pendidikan
Barat. BO sendiri sangat kooperatif dengan pemerintah Kolonial, hal ini karena
para pemimpinya digaji oleh pemerintah Belanda.
Dalam
rapat-rapat perkumpulan, Boedi Oetomo menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa
Indonesia. “Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang
kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka.
BO
tidak memiliki andil sedikit pun unuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para
pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang
dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan
bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.
· Sebuah majalah yang diterbitkan oleh kelompok Theosofi
bernama Majalah Pewarta Theosofie Boeat Indonesia Tahun 1930 menyebut Candi
Borobudur sebagai “Baitullah di Tanah Java”. Theosofi menganggap, antara ke
Baitullah di Makkah dan Baitullah di Tanah Java sama saja nilainya. Majalah
Bangoen yang dikelola oleh aktivis Theosofi, Siti Soemandari, juga
pernah memuat pelecehan terhadap istri-istri Rasulullah dan syariat
poligami. Selain itu, sebuah surat kabar bernama Djawi Hisworo yang
dikelola oleh para penganut kebatinan Theosofi juga melakukan pelecehan
terhadap pribadi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Pada 8
dan 11 Januari 1918, Djawi Hisworo yang dipimpin oleh Marthodarshono memuat
artikel yang menyebut Nabi Muhammad sebagai pemabuk dan pemadat.
· “Suara Umum”, sebuah media massa milik Boedi Oetomo di
bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam
Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul
lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu
Punya Kiblat!”(Al-Lisan nomor 24, 1938).
Tanggal 20 Mei Negara Republik
Indonesia memperingatinya sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Namun sebenarnya
penentuan tanggal ini meninggalkan permasalahan yang besar dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia dalam menegakkan kemerdekaannya. Tidak banyak
diungkap secara lebih lengkap dalam buku-buku pendidikan sejarah di
sekolah bahwa sebenarnya penentuan tanggal 20 Mei yang didasarkan atas
peristiwa berdirinya Boedi Oetomo meninggalkan banyak masalah, khususnya bagi
umat Islam di Indonesia. Permasalahan itu antara lain :
Boedi
Oetomo adalah organisasi yang bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan
organisasi yang bersifat kebangsaan. Tujuan Boedi Oetomo didirikan adalah
untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura
secara harmonis. Sistem pendidikan yang dianut dalam BO sendiri adalah adopsi
pendidikan Barat. BO sendiri sangat kooperatif dengan pemerintah Kolonial, hal
ini karena para pemimpinya digaji oleh pemerintah Belanda.
KH
Firdaus AN (Mantan Majelis Syuro Syarikat Islam) mengungkapkan “…Boedi
Oetomo adalah organsasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang Jawa dan
Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang betawi saja tidak boleh
menjadi anggotanya”. Selain itu dalam rapat-rapat perkumpulan, Boedi Oetomo
menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekalipun
rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang
merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup
orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki
nasib golongannya sendiri”. KH Firdaus AN juga mengatakan “BO tidak
memiliki andil sedikit pun unuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para
pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang
dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta
mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada
tahun 1935.”
Asvi
Marwan Adam, sejarawan LIPI menilai penetapan tanggal lahir BO sebagai
Hari Kebangkitan Nasional tidak layak. Hal ini karena BO tidak bisa disebut
sebagai pelopor kebangkitan nasional. Menurutnya, BO bersifat kedaerahan
sempit. “Hanya meliputi Jawa dan Madura saja”. Boedi Oetomo yang oleh banyak
orang dipercaya sebagai simbol kebangkitan nasional, pada dasarnya merupakan
lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan, dan jarang memainkan peran
politik yang aktif. Padahal politik adalah pilar utama sebuah kebangkitan.
Hal
yang sama juga dikemukakan oleh peneliti Robert van Niels yang mengatakan,
“Tanggal berdirinya Budi Utomo sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional
atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya
memajukan satu kelompok saja. Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah
dari dulu terjadi…Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir
barat. Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukkan wajah barat. ”
***
Para tokoh BO adalah pengikut Theosofi, anggota Freemasonry dan
Melecehkan Islam
Penggagas
organisasi BO, dr Wahidin Soediro Hoesodo adalah anggota Theosofi,
sebuah perkumpulan kebatinan yang berlandaskan pada tradisi Kabbalah Yahudi
yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky. Theosofi-Freemason
tidak mempercayai adanya ritual doa kepada Sang Maha Pencipta. Mereka juga tak
mempercayai adanya surga dan neraka. Anggota Theosofi yang
mengaku muslim, membuat penafsiran ajaran Islam dengan pemahaman yang
menyimpang. Theosofi tidak percaya dengan doa, dan tidak melakukan doa.
Theosofi mempercayai “doa kemauan” yang ditujukan kepada Bapak di sorga dalam
artian esoteris, yaitu Tuhan yang tidak ada sangkut pautnya dengan bayangan
manusia, atau Tuhan yang menjadi intisari ilahiah yang dimiliki semua agama.
Berdoa, kata Blavatsky mengandung dua unsur negatif: Pertama, membunuh sifat
percaya diri manusia yang ada dalam diri manusia sendiri. Kedua, mengembangkan
sifat mementingkan diri sendiri. Sebuah majalah yang diterbitkan oleh kelompok
Theosofi bernama Majalah Pewarta Theosofie Boeat Indonesia Tahun 1930 menyebut
Candi Borobudur sebagai “Baitullah di Tanah Java”. Theosofi menganggap, antara
ke Baitullah di Makkah dan Baitullah di Tanah Java sama saja nilainya. Majalah
Bangoenyang dikelola oleh aktivis Theosofi, Siti Soemandari, juga pernah memuat
pelecehan terhadap istri-istri Rasulullah dan syariat poligami.Selain itu,
sebuah surat kabar bernama Djawi Hisworo yang dikelola oleh
para penganut kebatinan Theosofi juga melakukan pelecehan terhadap pribadi Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Pada 8 dan 11 Januari 1918,
Djawi Hisworo yang dipimpin oleh Marthodarshono memuat artikel yang
menyebut Nabi Muhammad sebagai pemabuk dan pemadat.
Penghinaan ini yang kemudian memunculkan Tentara Kanjeng Nabi
Muhammad di bawah pimpinan HOS Cokroaminoto dimana salah satu anggotanya adalah
KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.
Tokoh utama BO adalah Dokter Soetomo. Dalam buku
“Kenang-kenangan Dokter Soetomo” yang dihimpun oleh Paul W van der Veur,
disebutkan bahwa Soetomo pernah mengatakan bahwa pemancaran zat Tuhan, “Itulah
sebenarnya keyakinan saya. Itulah keyakinan yang mengalir bersama darah dalam
segala urat tubuh saya. Sungguh, sesuai-sesuai benar.” (hal. 30). Soetomo juga
mengatakan, “Aku dan Dia satu dalam hakikat, yakni penjelmaan Tuhan. Aku
penjelmaan Tuhan yang sadar…” (hal.31). Ini menunjukkan Dokter Soetomo seorang
penganut paham sesat “Manunggaling Kawula Gusti” buatan Syech Siti Jenar.
Dokter Soetomo juga seorang penganut Theosofi, sebagaimana pengikut aliran
theosofi lainnya, maka dia tidak melakukan shalat lima waktu selayaknya
umat Islam lainnya, melainkan melakukan semedi, meditasi, yoga, dan sebagainya.
“Soetomo lebih mementingkan “semedi” untuk mendapat ketenangan hidup, ketimbang
sholat. Dengan rasa bangga, saat berpidato dalam Kongres Partai Indonesia Raya
(Parindra) pada 1937, Soetomo mengatakan,”Kita harus mengambil contoh dari
bangsa-bangsa Jahudi, jang menghidupkan kembali bahasa Ibrani. Sedang bangsa
Turki dan Tsjech kembali menghormati bangsanya sendiri.”
Tokoh Boedi Oetomo lainnya, dr Tjipto Mangoenkoesomo, juga dengan
sinis meminta agar bangsa ini mewaspadai bahaya “Pan-Islamisme”, yaitu bahaya
persatuan Islam yang membentang di berbagai belahan dunia, dengan
sistem dan pemerintahan Islam di bawah khilafah Islamiyah. Pada 1928, Tjipto
Mangoenkoesoemo menulis surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan kaum
muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi agenda
tersembunyi Haji Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto.
Goenawan
Mangoenkoesoemo, juga melontarkan pernyataan yang melecehkan Islam. Adik dari
dr. Tjipto Mangoekoesomo ini mengatakan, “Dalam banyak hal, agama Islam bahkan
kurang akrab dan kurang ramah hingga sering nampak bermusuhan dengan tabiat
kebiasaan kita. Pertama-tama ini terbukti dari larangan untuk menyalin Qur’an
ke dalam bahasa Jawa. Rakyat Jawa biasa sekali mungkin memandang itu biasa.
Tetapi seorang nasionalis yang berpikir, merasakan hal itu sebagai hinaan yang
sangat rendah. Apakah bahasa kita yang indah itu kurang patut, terlalu profan
untuk menyampaikan pesan Na
Dalam
buku yang sama, masih dengan nada melecehkan, Goenawan menulis, “Jika kita
berlutut dan bersembahyang, maka bahasa yang boleh dipakai adalah bahasanya
bangsa Arab…””Bagaimanapun tinggi nilai kebudayaan Islam, ternyata
kebudayaan itu tidak mampu menembus hati rakyat. Bapak penghulu boleh saja
supaya kita mengucap syahadat: “Hanya ada satu Allah dan
Muhammad-lah Nabi-Nya”, tetapi dia tidak akan bisa berbuat apa-apa bila cara
hidup kita, jalan pikiran kita, masih tetap seperti sewaktu kekuasaan Majapahit
dihancurkan secara kasar oleh Demak.”
Salah satu pimpinan BO yaitu Dr. Radjiman Wediodiningrat dengan
bangga mengatakan, bakat dan kemampuan orang Jawa yang ada pada para
aktivis Boedi Oetomo lebih unggul ketimbang ajaran Islam yang dianut oleh para
aktivis Sarekat Islam. Pada kongres Boedi Oetomo tahun 1917, ketika umat
Islam yang aktif di Boedi Oetomo meminta agar organisasi ini memperhatikan
aspirasi umat Islam, Radjiman dengan tegas menolaknya. Radjiman mengatakan, “Sama
sekali tidak bisa dipastikan bahwa orang Jawa di Jawa Tengah sungguh-sungguh
dan sepenuhnya menganut agama Islam.” Radjiman yang merupakan ketua BO
1914-1915 adalah anggota Freemasonry dan perhimpunan Theosofi. Beberapa
pimpinan BO adalah anggota Freemasonry antara lain : Raden T. Tirtokusumo
(Ketua BO pertama), Bupati Karanganyar kemudian Pangeran Aryo Notodirodjo
dari Keraton Paku Alam (Ketua BO yang kedua).
Tokoh yang lain bernama Noto Soeroto, salah seorang tokoh Boedi
Oetomo, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer
voor de Indische Vereninging berkata: “Agama islam merupakan batu
karang yang sangat berbahaya…sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar
perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.”
Ada fakta lain yang lebih mencengangkan, dalam sebuah artikel di
“Suara Umum”, sebuah media massa milik Boedi Oetomo di bawah asuhan Dr. Soetomo
terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat
tulisan yang antara lain berbunyi,“Digul lebih utama daripada Makkah”,
“Buanglah ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan
nomor 24, 1938).
Kenapa bukan tanggal 16
Oktober sebagai Hari Kebangkitan Nasional ?
Tanggal 16 Oktober 1905 adalah tanggal berdirinya Sarekat Islam.
SI merupakan kawah candradimuka berbagai pemikir Indonesia kelas dunia.
Sebutlah H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim, Soekarno sampai dengan Tan Malaka,
Muso dan Semaun. Tokoh-tokoh ini memiliki andil besar dalam kemerdekaan bangsa
Indonesia. SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Hal ini terlihat pada
susunan para pemimpinnya, Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari
Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumater Barat, dan AM.
Sangaji dari Maluku. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan
tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat.
Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. Walaupun
organisasi ini berlabel agama, dimana selain kaum muslimin tidak boleh menjadi
anggota, bukan berarti SI tidak peka terhadap perbedaan. Alasan menggunakan
label Islam, karena hanya itulah harta yang tersisa, selebihnya telah dirampas
Belanda. SI berhasil membuka 181 cabang di seluruh Indonesia. Jumlah anggota
kurang lebih 700.000 orang. Tahun 1919 melonjak drastis hingga mencapai 2 juta
orang. Sebuah angka yang fantastis kala itu. Jika dibandingkan dengan BO pada
masa keemasannya saja hanya beranggotan tak lebih dari 10.000 orang. Sejarawan
Fred R. von der Mehden (1957: 34) dengan tegas mengatakan bahwa SI-lah organisasi
politik nasional pertama di Indonesia.
Pada Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan (1956), umat
Islam mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan tanggal berdirinya SDI
sebagai Harkitnas berdasarkan karakter dan arah perjuangan SDI. Namun sangat
disayangkan, seruan ini tidak didengar pemerintah, bahkan sampai saat ini.
Pelurusan sejarah mengenai kebangkitan Indonesia nampaknya perlu dilakukan,
sangat disayangkan kalau peran umat terbesar di negeri ini dihilangkan begitu
saja. (Dikumpulkan dari berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar