CARA
PENENTUAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN WAJIB DENGAN RU’YATUL HILAL BUKAN DENGAN ILMU
HISAB/ASTRONOMI
Oleh
: Abu ASTRI
Islam, dalam banyak ayat dan hadits, senantiasa mengumandangkan
pentingnya ilmu sebagai landasan berucap dan beramal. Maka bisa dibayangkan,
amal tanpa ilmu hanya akan berbuah penyimpangan. Kajian berikut berupaya
menguraikan beberapa kesalahan berkait amalan di bulan Ramadhan. Kesalahan yang
dipaparkan di sini memang cukup ‘fatal’. Jika didiamkan terlebih
ditumbuhsuburkan, sangat mungkin akan mencabik-cabik kemurnian Islam,
lebih-lebih jika itu kemudian disirami semangat fanatisme golongan.
Penggunaan
Hisab Dalam Menentukan Awal Hijriyyah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan bimbingan dalam menentukan awal bulan Hijriyyah dalam hadits-haditsnya, di antaranya:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan bimbingan dalam menentukan awal bulan Hijriyyah dalam hadits-haditsnya, di antaranya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوا
حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Dari Ibnu
‘Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan Ramadhan,
maka beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat
hilal dan janganlah kalian berbuka (berhenti puasa dengan masuknya syawwal,
-pent.) sehingga kalian melihatnya. Bila kalian tertutup oleh awan maka
hitunglah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan hadits
yang semacam ini cukup banyak, baik dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim maupun
yang lain.
Kata-kata فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (Bila kalian tertutup oleh awan
maka hitunglah) menurut mayoritas ulama bermadzhab Hanbali, ini dimaksudkan
untuk membedakan antara kondisi cerah dengan berawan. Sehingga didasarkannya
hukum pada penglihatan hilal adalah ketika cuaca cerah, adapun mendung maka
memiliki hukum yang lain.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, artinya: “Lihatlah awal bulan dan genapkanlah menjadi 30 (hari).”
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, artinya: “Lihatlah awal bulan dan genapkanlah menjadi 30 (hari).”
Adapun yang
menguatkan penafsiran semacam ini adalah riwayat lain yang menegaskan apa yang
sesungguhnya dimaksud. Yaitu sabda Nabi yang telah lalu (maka sempurnakan
jumlah menjadi 30) dan riwayat yang semakna. Yang paling utama untuk
menafsirkan hadits adalah dengan hadits juga. Bahkan Ad-Daruquthni meriwayatkan
(hadits) serta menshahihkannya, juga Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dari
hadits Aisyah:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ
مِنْ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُوْمُ لِرُؤْيَةِ
رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ
“Dahulu
Rasulullah sangat menjaga Sya’ban, tidak sebagaimana pada bulan lainnya.
Kemudian beliau puasa karena ru`yah bulan Ramadhan. Jika tertutup awan, beliau
menghitung (menggenapkan) 30 hari untuk selanjutnya berpuasa.” (Dinukil dari
Fathul Bari karya Ibnu Hajar)
Oleh karenanya, penggunaan hisab bertentangan dengan Sunnah Nabi dan bertolak belakang dengan kemudahan yang diberikan oleh Islam.
Oleh karenanya, penggunaan hisab bertentangan dengan Sunnah Nabi dan bertolak belakang dengan kemudahan yang diberikan oleh Islam.
أَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ
“Maukah
kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?”
(Al-Baqarah: 61)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ
الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِيْنُوا
بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Dari Abu
Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata: ‘Sesungguhnya
agama ini adalah mudah. Dan tidak seorangpun memberat-beratkan dalam agama ini
kecuali ia yang akan terkalahkan olehnya. Maka berusahalah untuk benar,
mendekatlah, gembiralah dan gunakanlah pagi dan petang serta sedikit dari waktu
malam’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabul Iman Bab Ad-Dinu Yusrun)
Sebuah
pertanyaan diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah atau Dewan
Fatwa dan Riset Ilmiah Saudi Arabia:
Fatwa dan Riset Ilmiah Saudi Arabia:
Apakah boleh
bagi seorang muslim untuk mendasarkan penentuan awal dan akhir puasa pada hisab
ilmu falak, ataukah harus dengan ru`yah (melihat) hilal?
Jawab: …Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak membebani kita dalam menentukan awal bulan Qomariyah
dengan sesuatu yang hanya diketahui segelintir orang, yaitu ilmu perbintangan
atau hisab falak. Padahal nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah yang ada telah
menjelaskan, yaitu menjadikan ru`yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda
awal puasa kaum muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal
Syawwal. Demikian juga dalam menetapkan Iedul Adha dan hari Arafah. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“…Maka
barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.”
(Al-Baqarah: 185)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قٌلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ
وَالْحَجِّ
“Mereka
bertanya tentang hilal-hilal. Katakanlah, itu adalah waktu-waktu untuk manusia
dan untuk haji.” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ
فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Jika kalian
melihatnya, maka puasalah kalian. Jika kalian melihatnya maka berbukalah
kalian. Namun jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah menjadi 30.”
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tetapnya (awal) puasa dengan melihat
hilal bulan Ramadhan dan berbuka (mengakihiri Ramadhan) dengan melihat hilal
Syawwal. Sama sekali Nabi tidak mengaitkannya dengan hisab bintang-bintang dan
orbitnya (termasuk rembulan, -pent.). Yang demikian ini diamalkan sejak zaman
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Khulafa` Ar-Rasyidin, empat imam, dan
tiga kurun yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam persaksikan keutamaan dan
kebaikannya.
Oleh karena
itu, menetapkan bulan-bulan Qomariyyah dengan merujuk ilmu bintang dalam
memulai awal dan akhir ibadah tanpa ru`yah adalah bid’ah, yang tidak mengandung
kebaikan serta tidak ada landasannya dalam syariat….” (Fatwa ini ditandatangani
oleh Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’, dan
Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan. Lihat Fatawa Ramadhan, 1/61)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Tentang hisab, tidak boleh beramal dengannya dan bersandar padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Tentang hisab, tidak boleh beramal dengannya dan bersandar padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Tanya:
Sebagian kaum muslimin di sejumlah negara, sengaja berpuasa tanpa menyandarkan
pada ru`yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Asy-Syaikh
Abdul ‘Aziz bin Baz menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kaum muslimin untuk (mereka berpuasa karena melihat hilal dan
berbuka karena melihat hilal maka jika mereka tertutup olah awan hendaknya
menyempurnakan jumlahnya menjadi 30) -Muttafaqun alaihi-
Dan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu adalah demikian, demikian, dan demikian.” –beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan–: “Bulan itu begini, begini, dan begini –serta mengisyaratkan dengan seluruh jemarinya–.”
“Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu adalah demikian, demikian, dan demikian.” –beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan–: “Bulan itu begini, begini, dan begini –serta mengisyaratkan dengan seluruh jemarinya–.”
Beliau
maksudkan dengan itu bahwa bulan itu bisa 29 atau 30 (hari). Dan telah
disebutkan pula dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 (hari).”
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 (hari).”
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya):
“Jangan
kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah. Dan jangan
kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.”
Masih banyak
hadits-hadits dalam bab ini. Semuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan
ru`yah, atau menggenapkannya jika tidak memungkinkan ru`yah. Ini sekaligus
menjelaskan tidak bolehnya bertumpu pada hisab dalam masalah tersebut.
Ibnu
Taimiyyah1 telah menyebutkan ijma’ para ulama tentang larangan bersandar pada
hisab dalam menentukan hilal-hilal. Dan inilah yang benar, tidak diragukan
lagi. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal.
5-6)
Pembahasan
lebih rinci tentang hisab bisa dilihat kembali dalam Asy-Syariah edisi khusus
Ramadhan tahun 2004.
Imsak sebelum
Waktunya
Imsak artinya menahan. Yang dimaksud di sini adalah berhenti dari makan dan minum dan segala pembatal saat sahur. Kapankah sebetulnya disyariatkan berhenti, ketika adzan tanda masuknya subuh atau sebelumnya, yakni adzan pertama sebelum masuknya subuh? Karena dalam banyak hadits menunjukkan bahwa subuh memiliki dua adzan, beberapa saat sebelum masuk dan setelahnya.
Imsak artinya menahan. Yang dimaksud di sini adalah berhenti dari makan dan minum dan segala pembatal saat sahur. Kapankah sebetulnya disyariatkan berhenti, ketika adzan tanda masuknya subuh atau sebelumnya, yakni adzan pertama sebelum masuknya subuh? Karena dalam banyak hadits menunjukkan bahwa subuh memiliki dua adzan, beberapa saat sebelum masuk dan setelahnya.
Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Masalah ini, di mana banyak orang
(meyakini) bahwa makan di malam hari pada saat puasa diharamkan sejak adzan
pertama2 (yakni sebelum masuknya waktu subuh), yang adzan ini mereka sebut
dengan adzan imsak, tidak ada dasarnya dalam Al-Qur`an, As-Sunnah dan dalam
satu madzhabpun dari madzhab para imam yang empat. Mereka semua justru sepakat
bahwa adzan untuk imsak (menahan dari pembatal puasa) adalah adzan yang kedua
yakni adzan yang dengannya masuk waktu subuh. Dengan adzan inilah diharamkan
makan dan minum serta melakukan segala hal yang membatalkan puasa. Adapun adzan
pertama yang kemudian disebut adzan imsak, pengistilahan semacam ini
bertentangan dengan dalil Al-Qur`an dan Hadits. Adapun Al-Qur`an, maka Rabb
kita berfirman –dan kalian telah dengar ayat tersebut berulang-ulang–…
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مَنَ الْفَجْرِ
“Dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
(Al-Baqarah: 187)
Ini merupakan
nash yang tegas di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala membolehkan bagi orang-orang
yang berpuasa yang bangun di malam hari untuk melakukan sahur. Artinya, Rabb
kita membolehkan untuk makan dan mengakhirkannya hingga ada adzan yang secara
syar’i dijadikan pijakan untuk bersiap-siap karena masuk waktu fajar shadiq
(yakni masuknya waktu subuh, -pent.). Demikian Rabb kita menerangkan.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan makna ayat yang jelas ini dengan
hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi mengatakan:
لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ
“Janganlah
kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan di waktu malam.”3
Dalam hadits yang lain selain riwayat Al-Bukhari dan Muslim:
Dalam hadits yang lain selain riwayat Al-Bukhari dan Muslim:
لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ لِيَقُوْمَ
النَّائِمُ وَيَتَسَحَّرُ الْمَتَسَحِّرُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ
ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Janganlah
kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan untuk membangunkan yang
tidur dan untuk menunaikan sahur bagi yang sahur. Maka makan dan minumlah
kalian hingga Ibnu Ummi Maktum melantunkan adzan4….” (Fatawa Asy-Syaikh
Al-Albani, hal. 344-345)
Ibnu Hajar (salah satu ulama besar madzhab Syafi’i) dalam Fathul Bari syarah Shahih Al-Bukhari (4/199) juga mengingkari perbuatan semacam ini. Bahkan beliau menganggapnya termasuk bid’ah yang mungkar.
Oleh karenanya, wahai kaum muslimin, mari kita bersihkan amalan kita, selaraskan dengan ajaran Nabi kita, kapan lagi kita memulainya (jika tidak sekarang)? (Lihat pula Mu’jamul Bida’ hal. 57)
Ibnu Hajar (salah satu ulama besar madzhab Syafi’i) dalam Fathul Bari syarah Shahih Al-Bukhari (4/199) juga mengingkari perbuatan semacam ini. Bahkan beliau menganggapnya termasuk bid’ah yang mungkar.
Oleh karenanya, wahai kaum muslimin, mari kita bersihkan amalan kita, selaraskan dengan ajaran Nabi kita, kapan lagi kita memulainya (jika tidak sekarang)? (Lihat pula Mu’jamul Bida’ hal. 57)
Di sisi lain,
adapula yang melakukan sahur di tengah malam. Ini juga tidak sesuai dengan
Sunnah Nabi, sekaligus bertentangan dengan maksud dari sahur itu sendiri yaitu
untuk membantu orang yang berpuasa dalam menunaikannya. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
بَكِّرُوا بِاْلإِفْطَارِ، وَأَخِّرُوا السَّحُوْرَ
“Segeralah
berbuka dan akhirkan sahur.” (Shahih, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah,
no. 1773)
عَنْ أَبِي عَطِيَّةَ قَالَ: قُلْتُ لِعَائِشَةَ: فِيْنَا رَجُلاَنِ
مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَحَدُهُمَا
يُعَجِّلُ اْلإِفْطَارَ وَيُؤَخِّرُ السُّحُوْرَ، وَاْلآخَرُ يُؤَخِّرُ
اْلإِفْطَارَ وَيُعَجِّلُ السُّحُوْرَ. قَالَتْ: أَيُّهُمَا الَّذِي يُعَجِّلُ
اْلإِفْطَارَ وَيُؤَخِّرُ السُّحُوْرَ؟ قُلْتُ: عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُوْدٍ.
قَالَتْ: هَكَذَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ
Dari Abu
‘Athiyyah ia mengatakan: Aku katakan kepada ‘Aisyah: Ada dua orang di antara
kami, salah satunya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, sedangkan yang
lain menunda berbuka dan mempercepat sahur. ‘Aisyah mengatakan: “Siapa yang
menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur?” Aku menjawab: “Abdullah bin
Mas’ud.” ‘Aisyah lalu mengatakan: “Demikianlah dahulu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukannya.” (HR. At-Tirmidzi, Kitabush Shiyam Bab Ma Ja`a
fi Ta’jilil Ifthar, 3/82, no. 702. Beliau menyatakan: “Hadits hasan shahih.”)
At-Tirmidzi
mengatakan: Hadits Zaid bin Tsabit (tentang mengakhirkan sahur, -pent.)
derajatnya hasan shahih. Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat dengannya.
Mereka menyunnahkan untuk mengakhirkan sahur.” (Bab Ma Ja`a fi Ta`khiri Sahur)
Di antara kesalahan yang lain adalah:
Mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan kehati-hatian/ihtiyath (Mu’jamul Bida’, hal. 268)q
Membunyikan meriam untuk memberitahukan masuknya waktu shalat, sahur, atau berbuka. Al-Imam Asy-Syathibi menganggapnya bid’ah. (Al-I’tisham, 2/103; Mu’jamul Bida’, hal. 268)q
Bersedekah atas nama roh dari orang yang telah meninggal pada bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. (Ahkamul Jana`iz, hal. 257, Mu’jamul Bida’, hal. 269)q
Dan masih banyak lagi kesalahan lain, yang Insya Allah akan dibahas pada kesempatan yang lain.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Di antara kesalahan yang lain adalah:
Mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan kehati-hatian/ihtiyath (Mu’jamul Bida’, hal. 268)q
Membunyikan meriam untuk memberitahukan masuknya waktu shalat, sahur, atau berbuka. Al-Imam Asy-Syathibi menganggapnya bid’ah. (Al-I’tisham, 2/103; Mu’jamul Bida’, hal. 268)q
Bersedekah atas nama roh dari orang yang telah meninggal pada bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. (Ahkamul Jana`iz, hal. 257, Mu’jamul Bida’, hal. 269)q
Dan masih banyak lagi kesalahan lain, yang Insya Allah akan dibahas pada kesempatan yang lain.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Lihat pula
Majmu’ Fatawa (25/179)
2 Bila di masyarakat kita tandanya adalah dengan selain adzan, seperti sirine, petasan, atau yang lain yang tidak ada dasar syar’inya sama sekali.
3 Yakni sebelum masuk waktu subuh.
4 Karena Ibnu Ummi Maktum adzan setelah masuk waktu subuh.
2 Bila di masyarakat kita tandanya adalah dengan selain adzan, seperti sirine, petasan, atau yang lain yang tidak ada dasar syar’inya sama sekali.
3 Yakni sebelum masuk waktu subuh.
4 Karena Ibnu Ummi Maktum adzan setelah masuk waktu subuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar