Sabtu, 13 April 2013

YAHUDI DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Yahudi Dalam Perspektif Islam, Mensikapi Konflik Yahudi-Islam Kontemporer


Diposting : Abu Astri

 “Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membawa mereka ke agama Islam, Kristen dan Yahudi” (Buchori: 1270). Dengan kata lain pembentukan karakter dan sifat manusia sangat ditentukan oleh lingkungan yang melingkupinya dan bukan oleh faktor keturunan. Berdasarkan tesis tersebut sifat dan karakter sebuah bangsa harus dilihat sebagai naluri muktasab yang terbentuk oleh proses interaksi manusia dengan sesamanya atau dengan alam. Sebelum membahas sikap Islam terhadap bangsa Yahudi perlu kiranya dibahas terlebih dahulu sifat dan watak bangsa Yahudi yang melatar belakangi permusuhan mereka dengan umat Islam.
Ideologi Rasis, Chauvinis Dan Ekspansif Bangsa Yahudi
Doktrin paling berpengaruh dan tetap dipegang teguh oleh bangsa Yahudi adalah doktrin “bangsa terpilih” dan “tanah yang dijanjikan”. Doktrin “bangsa terpilih” juga disinggung Qur’an: “Hai bani Israil ingatlah akan nikmatKu yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan bahwa Aku telah melebihkan kamu atas segala umat”, (QS;Al-Baqarah:47). Tanpa harus meminjam penafsiran subyektif cukuplah dipahami bahwa ayat ini mengakui keyakinan bangsa Yahudi tentang “bangsa terpilih”. Doktrin yang sangat kuat diyakini bangsa Yahudi ini telah menumbuhkan eksklusifitas. Bangsa Yahudi hidup di getho getho yang terpisah dari masyarakat dimana mereka tinggal. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari percampuran dengan masyarakat lain. Sikap eksklusif bangsa Yahudi boleh jadi menimbulkan kebencian pada bangsa lain. Dan ini dirasakan orang orang Yahudi yang menyadari bahwa mereka tidak disukai masyarakat setempat. Theodore Hertzel, pendiri Zionisme, mengatakan bahwa rasa permusuhan terhadap Yahudi adalah watak alami manusia. Kondisi semacam ini dialami orang orang Yahudi di negara manapun, termasuk di negara negara maju. Bahkan rasisme Yahudi harus berbenturan dengan rasisme Jerman yang mengakibatkan terjadinya pembantaian Yahudi. Perlu dicatat bahwa eksklusifitas yang lahir dari doktrin “bangsa terpilih” telah menciptakan lingkungan eksklusif yang homogen. Karenanya tidak terlalu salah jika pendirian dan sikap para pemimpin politik Israel nyaris sama. Disamping itu doktrin “bangsa terpilih” membuat agama Yahudi identik dengan bangsa Yahudi; satu satunya agama Semit yang mayoritas pemeluknya adalah bangsa tertentu.
Doktrin “tanah yang dijanjikan” juga disinggung Qur’an: “Hai kaumku masuklah ke tanah suci yang telah dijanjikan Allah bagimu” (QS; al-Ma’idah:21). Dalam kisah itu bani Israil membantah perintah nabi Musa karena takut menghadapi penduduk Palestina, bahkan bani Israil meminta Musa dan Tuhannya berangkat sendiri memerangi penduduk Palestina. Akibat sikap pengecutnya, bani Israil harus hidup menderita di padang Taih selama empat puluh tahun hanya dengan makanan Manna dan Salwa. Sepeninggal Musa, Yusak menggerakkan bani Israil yang telah berkembang biak selama hidup di padang Taih untuk menyerbu Palestina dan menguasainya. Patut dicatat bahwa doktrin “tanah yang dijanjikan”selama berabad abad menjadi obsesi seluruh bangsa Yahudi yang tercerai berai tanpa tanah air sejak terusir dari tanah Arab pada masa khalifah Umar.
Perjalanan panjang sejarah bangsa Yahudi memang penuh dengan gejolak dan permusuhan dengan bangsa lain. Sejak Yusak, salah satu nabi bangsa Yahudi, merebut tanah Palestina, tercatat tiga kali bangsa Yahudi memiliki kerajaan yang dipimpin oleh keturunan bani Israil, yaitu raja Saul, raja Daud dan raja Sulaiman. Selebihnya, berturut turut bangsa Israil ditaklukkan bangsa bangsa lain. Bangsa Yahudi pernah dikuasi bangsa Sargon dari Assyiria yang memusnahkan 10 suku Israil, dijajah Nebukandnezar dari Babilonia yang menghancurkan Jeurssalem dan biara Sulaiman di dataran tinggi Zion; ditaklukkan Cyrus the Great dari dinasti Achaemenids yang membebaskan dua suku Israil yang ditwan Babilonia dan membangun kembali Biara Sulaiman, ditaklukkan Macedonia, dikuasai dinasti Ptoleme dari Mesir, dikuasai dinasti Sleucids dari Yunani, dibawah penaklukkan Romawi, terusir dari Palestina oleh panglima Titus, terusir dari madinah oleh Nabi Muhammad, dan terusir dari tanah Arab oleh khalifah Umar. Dan tidak jarang bangsa Israil mendapat tekanan dan penyiksaan fisik dari para penguasa, seperti yang terjadi dalam kisah Firaun dan Bani Israil di Mesir, kisah perjalanan putera putera Ya’kub ke kerajaan Mesir dan pembantaian Yahudi oleh Nazi.
Pengalaman getir yang dialami bangsa Yahudi sejak penjajahan Firaun hingga pembantaian Nazi menanamkan ambisi kekuasaan pada bangsa Yahudi, bahkan dalam menyikapi nabi nabi mereka. Banyak nabi nabi dibunuh karena dianggap tidak memberikan harapan bagi bangsa Yahudi dalam mencapai kejayaan. Bahkan dikisahkan bahwa setelah kekalahan beruntun dan penderitaan yang dialami bangsa Yahudi akibat penindasan dan penyiksaan fisik bangsa lain, mereka mengharapkan datangnya seorang “juru selamat”. Lalu datanglah Isa yang mengabarkan agama baru untuk menyelamatkan umat dari kehancuran. Tetapi bangsa Yahudi menolak mengakui kenabian dan agama yang dibawanya, bahkan berusaha membunuhnya. Bangsa Yahudi menganggap bahwa Isa hanya penyelamat spiritual, bukan pemimpin yang akan membawa bangsa Yahudi berkuasa. Agenda Zionisme sendiri juga mencanangkan sebuah negara Israel Raya yang wilayahnya meliputi hampir seluruh dunia Arab. Dan kini, bangsa Yahudi telah berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan Negara Israel meskipun belum mencakup seluruh wilayah yang diagendakan Zionisme.
Jadi kedua doktrin diatas yang kemudian dikembangkan sebagai ideologi rasis, chauvinis dan ekspansif inilah yang tampaknya mewarnai perjalanan sejarah permusuhan Yahudi dengan bangsa bangsa lain, terutama umat Islam.
Yahudi Kriteria Sebagai Musuh Islam
Secara garis keturunan sebenarnya bangsa Yahudi lebih dekat dengan bangsa Arab-Islam ketimbang bangsa Eropa-Kristen. Sebab bangsa Yahudi dan Arab-Islam sama sama berasal dari rumpun Semit. Tetapi ancaman Yahudi terhadap Islam lebih besar dibanding ancaman bangsa lain sepserti disebutkan dalam Qur’an, “Sesungguhnya kamu dapati orang orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang orang yang beriman ialah orang orang Yahudi dan orang orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang orang beriman adalah orang orang yang berkata ‘sesungguhnya kami ini orang Nasrani’. Yang demikian itu disebabkan karena diantara mereka itu terdapat pendeta dan rahib rahib juga karena mereka sesungguhnya tidak menyombongkan diri.” (QS, Al-Maidah:82). Permusuhan yang diperlihatkan bangsa Yahudi terhadap Islam sebenarnya sama dengan permusuhan Yahudi terhadap bangsa lain. Permusuhan itu sama sama dilatarbelakangi oleh faktor “menyombongkan diri” yang personifikasinya dalam bangsa Yahudi adalah ideologi rasis. Orang orang Yahudi tidak dapat menerima agama yang dikabarkan Nabi Muhammad karena Nabi tidak berasal dari keturunan bani Israil. Hal ini menunjukkan bahwa potensi permusuhan terhadap Islam bersumber dari kesombongan dan rasisme intelektual yang tidak dapat menerima kebenaran dari golongan lain. Atau dengan kata lain musuh Islam lebih dilihat dari sudut kriteria ketimbang generalisasi golongan.
Paling tidak ada tiga hal yang mendukung tesis ini. Pertama, orang orang Nasrani yang dalam ayat di atas disebut lebih bersahabat ternyata selama berabad abad menjadi musuh bebuyutan Islam juga dengan latarbelakang “menyombongkan diri” seperti terlihat dalam Perang Salib. Kedua, Abdullah bin Salam, seorang rahib Yahudi dan putera seorang rahib pula, demikian pula beberapa orang Yahudi lain, ternyata dengan tulus memeluk agama Islam. Ketiga dalam Qur’an disebutkan, “Sesungguhnya orang orang mu’min, orang orang Yahudi, orang orang Nasrani, dan orang orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan mereka tidak bersedih hati”, (QS, Al-Baqarah:62).
Dengan demikian ancaman terhadap Islam bersumber dari Yahudi dan Musyrik dalam pengertian orang orang yang memiliki kriteria rasis, chauvinis dan ekspansif, bukan Yahudi dan Musyrik sebagai golongan dan individu.
Realitas Obyektif Yahudi Dan Sikap Kita
Setelah getho getho Yahudi di kotakota di Eropa mulai runtuh, terutama setelah revolusi Perancis 1789, orang orang Yahudi mulai merambah dunia industri dan perbankan. Lahirlah bankir bankir dan industrialis Yahudi di Jerman, Perancis Inggris dan Rusia, seperti keluarga Rotschilid di Eropa dan keluarga Morgan di Amerika. Mereka menguasai keuangan negara negara itu melalui dunia perbankan yang berada di bawah kekuasaan bankir bankir Yahudi. Dan bank bank tersebut dimanfaatkan untuk mempengaruhi kebijakan politik negara negara tersebut. Pada Perang Dunia I Inggris berhasil merebut Palestina dari kesultanan Turki. Dan  Inggris yang mengalami kesulitan keuangan pasca Perang Dunia I masuk dalam perangkap Yahudi yang mencoba mempengaruhi kebijakan politik Inggris untuk dapat melapangkan jalan bagi masuknya bangsa Yahudi ke tanah Palestina. Semula Inggris menawarkan imbalan tanah di Uganda, tetapi Yahudi memilih Palestina. Lalu lahirlah deklarasi Balford yang menjanjikan home rule untuk bangsa Yahudi di Palestina. Dalam waktu singkat bangsa Yahudi yang semula berjumlah enam ratus ribu jiwa diantara belasan juta bangsa Arab meningkat sampai tujuh juta jiwa. Dengan leluasa orang orang Yahudi masuk ke Palestina dan mengusir orang orang Arab dari rumah mereka. Tidak terhitung lagi berapa keluarga bangsa Palestina yang akhirnya harus tinggal di kamp kamp di padang pasir dan untuk waktu sekian lama tidak mendapatkan perhatian dari dunia internasional. Dan setelah Inggris angkat kaki dari Palestina, Bangsa Yahudi memprokamirkan Negara Israel.
Sejak itu bangsa bangsa Arab disibukkan dengan konflik Arab-Israel yang berkepanjangan; perebutan wilayah, konfilk perbatasan, persoalan air dan lain-lain. Bahkan agenda konfrensi Liga Arab lebih banyak didominasi persoalan Palestina. Sesuai dengan agenda zionisme, pada perang tahun 1967 Israel menginvasi wilayah wilayah Arab yang berbatasan dengan Israel. Dan di dalam negeri, Israel melakukan diskriminasi dan penindasan terhadap bangsa Palestina. Perundingan damai yang diupayakan berbagai pihak berjalan sangat lambat bahkan kerapkali menemui jalan buntu. Situasi konflik di kawasan Timur Tengah diperburuk oleh sikap keras kepala Israel yang tidak sungguh sungguh menginginkan penyelesaian yang saling menguntungkan. Bahkan resolusi DK PBB yang mengharuskan Israel mengembalikan wilayah wilayah Arab yang direbut, tidak pernah ditaati. Timur Tengah kini menjadi kawasan konflik dan Palestina menjadi tempat kejahatan kemanusiaan yang paling mengerikan.
Secara normatif Islam mengajarkan jalan damai sebagai pilihan utama. Hal ini pernah dicontohkan Nabi ketika membuat kesepakatan hidup berdampingan damai dengan orang orang Yahudi Madinah yang tertuang dalam Piagam Madinah. Salah satu pasal dalam Piagam tersebut berbunyi, “Jika Muhammad dan kawan kawan diserang musuh, maka Yahudi membela Muhammad dan kawan kawan, dan jika Yahudi diserang musuh maka Muhammad dan kawan kawan membela Yahudi”. Ketika Yahudi Madinah mengkhianati perjanjian, Nabi mengusir mereka dari Madinah. Dalam Qur’an juga disebutkan bagaimana sikap kita terhadap orang orang yang tidak memerangi kita, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang orang yang memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang berbuat adil”, (QS, Al-Mumtahinah:8). Tetapi jika jalan damai tidak mungkin diupayakan maka permusuhan menjadi pilihan yang tak terelakkan. Dan jika orang lain memulai perang dengan kita, maka perang adalah jalan yang harus ditempuh. Firman Allah, “Dan perangilah di jalan Allah orang orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang yang melampui batas”, (QS, Al-Baqarah:191).
Melihat peta konflik yang ada, tampaknya tidak ada yang lebih mendesak dibantu ketimbang umat Islam di negara negara Arab dan khususnya di Palestina. Dan ironisnya permusuhan dan kontak senjata yang sudah menjadi pemandangan sehari hari kurang mendapatkan perhatian kita. Isu kemerdekaan Palestina dan merebut kembali tanah tanah Arab yang dikuasai Israel kurang menggugah minat perjuangan Islam kita. Kita lebih asyik masyuk dengan hal hal spekulatif dan terhadap apa yang sudah jelas dan nyata di depan mata, kita malah tidak mengambil sikap.
Perang melawan musuh Islam adalah suatu keniscayaan setelah upaya damai tidak dapat ditempuh. Tetapi, mengikuti sunnah Rasul, perang tidak mungkin hanya mengandalkan keyakinan akan pertolongan Allah. Disamping keyakinan, kita juga harus berbekal pengetahuan. Pertolongan Allah tidak datang begitu saja tanpa uapaya manusia. Lima puluh tahun lebih Israel mengangkangi negara negara Arab-Islam. Dari segi kuantitas mereka jauh lebih kecil dibandingkan negara negara Arab-Islam, tetapi dari segi kualitas mereka jauh lebih canggih. Dan yang lebih patut diperhatikan adalah bahwa keberhasilan Yahudi menguasai Palestina didahului dengan masa penguasaan tekonologi dan ekonomi. Begitu juga keberhasilan Kristen menundukkan kesultanan Turki-Islam didahului dengan kemajuan peradabannya.

Tidak ada komentar: