Yahudi Dalam Perspektif
Islam, Mensikapi Konflik Yahudi-Islam Kontemporer
Diposting : Abu Astri
“Setiap
manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membawa
mereka ke agama Islam, Kristen dan Yahudi” (Buchori: 1270). Dengan kata lain
pembentukan karakter dan sifat manusia sangat ditentukan oleh lingkungan yang
melingkupinya dan bukan oleh faktor keturunan. Berdasarkan tesis tersebut sifat
dan karakter sebuah bangsa harus dilihat sebagai naluri muktasab yang terbentuk oleh proses interaksi
manusia dengan sesamanya atau dengan alam. Sebelum membahas sikap Islam
terhadap bangsa Yahudi perlu
kiranya dibahas terlebih dahulu sifat dan watak bangsa Yahudi yang melatar
belakangi permusuhan mereka dengan umat Islam.
Ideologi
Rasis, Chauvinis Dan Ekspansif Bangsa Yahudi
Doktrin
paling berpengaruh dan tetap dipegang teguh oleh bangsa Yahudi adalah doktrin
“bangsa terpilih” dan “tanah yang dijanjikan”. Doktrin “bangsa terpilih” juga
disinggung Qur’an: “Hai bani Israil ingatlah akan nikmatKu yang telah Aku
anugerahkan kepadamu dan bahwa Aku telah melebihkan kamu atas segala umat”,
(QS;Al-Baqarah:47). Tanpa harus meminjam penafsiran subyektif cukuplah dipahami
bahwa ayat ini mengakui keyakinan bangsa Yahudi tentang “bangsa terpilih”.
Doktrin yang sangat kuat diyakini bangsa Yahudi ini telah menumbuhkan
eksklusifitas. Bangsa Yahudi hidup di getho getho yang terpisah dari masyarakat
dimana mereka tinggal. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari percampuran dengan
masyarakat lain. Sikap eksklusif bangsa Yahudi boleh jadi menimbulkan kebencian
pada bangsa lain. Dan ini dirasakan orang orang Yahudi yang menyadari bahwa
mereka tidak disukai masyarakat setempat. Theodore Hertzel, pendiri Zionisme,
mengatakan bahwa rasa permusuhan terhadap Yahudi adalah watak alami manusia.
Kondisi semacam ini dialami orang orang Yahudi di negara manapun, termasuk di
negara negara maju. Bahkan rasisme Yahudi harus berbenturan dengan rasisme
Jerman yang mengakibatkan terjadinya pembantaian Yahudi. Perlu dicatat bahwa
eksklusifitas yang lahir dari doktrin “bangsa terpilih” telah menciptakan
lingkungan eksklusif yang homogen. Karenanya tidak terlalu salah jika pendirian
dan sikap para pemimpin politik Israel nyaris sama. Disamping itu doktrin
“bangsa terpilih” membuat agama Yahudi identik dengan bangsa Yahudi; satu
satunya agama Semit yang mayoritas pemeluknya adalah bangsa tertentu.
Doktrin
“tanah yang dijanjikan” juga disinggung Qur’an: “Hai kaumku masuklah ke tanah
suci yang telah dijanjikan Allah bagimu” (QS; al-Ma’idah:21). Dalam kisah itu
bani Israil membantah perintah nabi Musa karena takut menghadapi penduduk
Palestina, bahkan bani Israil meminta Musa dan Tuhannya berangkat sendiri
memerangi penduduk Palestina. Akibat sikap pengecutnya, bani Israil harus hidup
menderita di padang Taih selama empat puluh tahun hanya dengan makanan Manna
dan Salwa. Sepeninggal Musa, Yusak menggerakkan bani Israil yang telah
berkembang biak selama hidup di padang Taih untuk menyerbu Palestina dan
menguasainya. Patut dicatat bahwa doktrin “tanah yang dijanjikan”selama berabad
abad menjadi obsesi seluruh bangsa Yahudi yang tercerai berai tanpa tanah air
sejak terusir dari tanah Arab pada masa khalifah Umar.
Perjalanan
panjang sejarah bangsa Yahudi memang penuh dengan gejolak dan permusuhan dengan
bangsa lain. Sejak Yusak, salah satu nabi bangsa Yahudi, merebut tanah
Palestina, tercatat tiga kali bangsa Yahudi memiliki kerajaan yang dipimpin
oleh keturunan bani Israil, yaitu raja Saul, raja Daud dan raja Sulaiman.
Selebihnya, berturut turut bangsa Israil ditaklukkan bangsa bangsa lain. Bangsa
Yahudi pernah dikuasi bangsa Sargon dari Assyiria yang memusnahkan 10 suku
Israil, dijajah Nebukandnezar dari Babilonia yang menghancurkan Jeurssalem dan
biara Sulaiman di dataran tinggi Zion; ditaklukkan Cyrus the Great dari dinasti
Achaemenids yang membebaskan dua suku Israil yang ditwan Babilonia dan
membangun kembali Biara Sulaiman, ditaklukkan Macedonia, dikuasai dinasti
Ptoleme dari Mesir, dikuasai dinasti Sleucids dari Yunani, dibawah penaklukkan
Romawi, terusir dari Palestina oleh panglima Titus, terusir dari madinah oleh
Nabi Muhammad, dan terusir dari tanah Arab oleh khalifah Umar. Dan tidak jarang
bangsa Israil mendapat tekanan dan penyiksaan fisik dari para penguasa, seperti
yang terjadi dalam kisah Firaun dan Bani Israil di Mesir, kisah perjalanan
putera putera Ya’kub ke kerajaan Mesir dan pembantaian Yahudi oleh Nazi.
Pengalaman
getir yang dialami bangsa Yahudi sejak penjajahan Firaun hingga pembantaian
Nazi menanamkan ambisi kekuasaan pada bangsa Yahudi, bahkan dalam menyikapi
nabi nabi mereka. Banyak nabi nabi dibunuh karena dianggap tidak memberikan harapan
bagi bangsa Yahudi dalam mencapai kejayaan. Bahkan dikisahkan bahwa setelah
kekalahan beruntun dan penderitaan yang dialami bangsa Yahudi akibat penindasan
dan penyiksaan fisik bangsa lain, mereka mengharapkan datangnya seorang “juru
selamat”. Lalu datanglah Isa yang mengabarkan agama baru untuk menyelamatkan
umat dari kehancuran. Tetapi bangsa Yahudi menolak mengakui kenabian dan agama
yang dibawanya, bahkan berusaha membunuhnya. Bangsa Yahudi menganggap bahwa Isa
hanya penyelamat spiritual, bukan pemimpin yang akan membawa bangsa Yahudi
berkuasa. Agenda Zionisme sendiri juga mencanangkan sebuah negara Israel Raya
yang wilayahnya meliputi hampir seluruh dunia Arab. Dan kini, bangsa Yahudi
telah berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan Negara Israel meskipun
belum mencakup seluruh wilayah yang diagendakan Zionisme.
Jadi
kedua doktrin diatas yang kemudian dikembangkan sebagai ideologi rasis,
chauvinis dan ekspansif inilah yang tampaknya mewarnai perjalanan sejarah
permusuhan Yahudi dengan bangsa bangsa lain, terutama umat Islam.
Yahudi
Kriteria Sebagai Musuh Islam
Secara
garis keturunan sebenarnya bangsa Yahudi lebih dekat dengan bangsa Arab-Islam
ketimbang bangsa Eropa-Kristen. Sebab bangsa Yahudi dan Arab-Islam sama sama
berasal dari rumpun Semit. Tetapi ancaman Yahudi terhadap Islam lebih besar
dibanding ancaman bangsa lain sepserti disebutkan dalam Qur’an, “Sesungguhnya
kamu dapati orang orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang orang
yang beriman ialah orang orang Yahudi dan orang orang musyrik. Dan sesungguhnya
kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang orang beriman adalah
orang orang yang berkata ‘sesungguhnya kami ini orang Nasrani’. Yang demikian
itu disebabkan karena diantara mereka itu terdapat pendeta dan rahib rahib juga
karena mereka sesungguhnya tidak menyombongkan diri.” (QS, Al-Maidah:82).
Permusuhan yang diperlihatkan bangsa Yahudi terhadap Islam sebenarnya sama
dengan permusuhan Yahudi terhadap bangsa lain. Permusuhan itu sama sama
dilatarbelakangi oleh faktor “menyombongkan diri” yang personifikasinya dalam
bangsa Yahudi adalah ideologi rasis. Orang orang Yahudi tidak dapat menerima
agama yang dikabarkan Nabi Muhammad karena Nabi tidak berasal dari keturunan
bani Israil. Hal ini menunjukkan bahwa potensi permusuhan terhadap Islam
bersumber dari kesombongan dan rasisme intelektual yang tidak dapat menerima
kebenaran dari golongan lain. Atau dengan kata lain musuh Islam lebih dilihat
dari sudut kriteria ketimbang generalisasi golongan.
Paling
tidak ada tiga hal yang mendukung tesis ini. Pertama, orang orang Nasrani yang
dalam ayat di atas disebut lebih bersahabat ternyata selama berabad abad
menjadi musuh bebuyutan Islam juga dengan latarbelakang “menyombongkan diri”
seperti terlihat dalam Perang Salib. Kedua, Abdullah bin Salam, seorang rahib
Yahudi dan putera seorang rahib pula, demikian pula beberapa orang Yahudi lain,
ternyata dengan tulus memeluk agama Islam. Ketiga dalam Qur’an disebutkan,
“Sesungguhnya orang orang mu’min, orang orang Yahudi, orang orang Nasrani, dan
orang orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar benar beriman kepada
Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan
mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan mereka tidak bersedih
hati”, (QS, Al-Baqarah:62).
Dengan
demikian ancaman terhadap Islam bersumber dari Yahudi dan Musyrik dalam
pengertian orang orang yang memiliki kriteria rasis, chauvinis dan ekspansif,
bukan Yahudi dan Musyrik sebagai golongan dan individu.
Realitas
Obyektif Yahudi Dan Sikap Kita
Setelah
getho getho Yahudi di kotakota di Eropa mulai runtuh, terutama setelah revolusi
Perancis 1789, orang orang Yahudi mulai merambah dunia industri dan perbankan.
Lahirlah bankir bankir dan industrialis Yahudi di Jerman, Perancis Inggris dan
Rusia, seperti keluarga Rotschilid di Eropa dan keluarga Morgan di Amerika.
Mereka menguasai keuangan negara negara itu melalui dunia perbankan yang berada
di bawah kekuasaan bankir bankir Yahudi. Dan bank bank tersebut dimanfaatkan
untuk mempengaruhi kebijakan politik negara negara tersebut. Pada Perang Dunia
I Inggris berhasil merebut Palestina dari kesultanan Turki. Dan Inggris
yang mengalami kesulitan keuangan pasca Perang Dunia I masuk dalam perangkap
Yahudi yang mencoba mempengaruhi kebijakan politik Inggris untuk dapat
melapangkan jalan bagi masuknya bangsa Yahudi ke tanah Palestina. Semula
Inggris menawarkan imbalan tanah di Uganda, tetapi Yahudi memilih Palestina.
Lalu lahirlah deklarasi Balford yang menjanjikan home rule untuk bangsa Yahudi di Palestina.
Dalam waktu singkat bangsa Yahudi yang semula berjumlah enam ratus ribu jiwa
diantara belasan juta bangsa Arab meningkat sampai tujuh juta jiwa. Dengan
leluasa orang orang Yahudi masuk ke Palestina dan mengusir orang orang Arab
dari rumah mereka. Tidak terhitung lagi berapa keluarga bangsa Palestina yang
akhirnya harus tinggal di kamp kamp di padang pasir dan untuk waktu sekian lama
tidak mendapatkan perhatian dari dunia internasional. Dan setelah Inggris
angkat kaki dari Palestina, Bangsa Yahudi memprokamirkan Negara Israel.
Sejak
itu bangsa bangsa Arab disibukkan dengan konflik Arab-Israel yang
berkepanjangan; perebutan wilayah, konfilk perbatasan, persoalan air dan
lain-lain. Bahkan agenda konfrensi Liga Arab lebih banyak didominasi persoalan
Palestina. Sesuai dengan agenda zionisme, pada perang tahun 1967 Israel
menginvasi wilayah wilayah Arab yang berbatasan dengan Israel. Dan di dalam
negeri, Israel melakukan diskriminasi dan penindasan terhadap bangsa Palestina.
Perundingan damai yang diupayakan berbagai pihak berjalan sangat lambat bahkan
kerapkali menemui jalan buntu. Situasi konflik di kawasan Timur Tengah
diperburuk oleh sikap keras kepala Israel yang tidak sungguh sungguh
menginginkan penyelesaian yang saling menguntungkan. Bahkan resolusi DK PBB
yang mengharuskan Israel mengembalikan wilayah wilayah Arab yang direbut, tidak
pernah ditaati. Timur Tengah kini menjadi kawasan konflik dan Palestina menjadi
tempat kejahatan kemanusiaan yang paling mengerikan.
Secara
normatif Islam mengajarkan jalan damai sebagai pilihan utama. Hal ini pernah
dicontohkan Nabi ketika membuat kesepakatan hidup berdampingan damai dengan
orang orang Yahudi Madinah yang tertuang dalam Piagam Madinah. Salah satu pasal
dalam Piagam tersebut berbunyi, “Jika Muhammad dan kawan kawan diserang musuh,
maka Yahudi membela Muhammad dan kawan kawan, dan jika Yahudi diserang musuh
maka Muhammad dan kawan kawan membela Yahudi”. Ketika Yahudi Madinah
mengkhianati perjanjian, Nabi mengusir mereka dari Madinah. Dalam Qur’an juga
disebutkan bagaimana sikap kita terhadap orang orang yang tidak memerangi kita,
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang
orang yang memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang berbuat adil”, (QS,
Al-Mumtahinah:8). Tetapi jika jalan damai tidak mungkin diupayakan maka
permusuhan menjadi pilihan yang tak terelakkan. Dan jika orang lain memulai
perang dengan kita, maka perang adalah jalan yang harus ditempuh. Firman Allah,
“Dan perangilah di jalan Allah orang orang yang memerangi kamu, tetapi
janganlah kamu melampui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang
orang yang melampui batas”, (QS, Al-Baqarah:191).
Melihat
peta konflik yang ada, tampaknya tidak ada yang lebih mendesak dibantu
ketimbang umat Islam di negara negara Arab dan khususnya di Palestina. Dan
ironisnya permusuhan dan kontak senjata yang sudah menjadi pemandangan sehari
hari kurang mendapatkan perhatian kita. Isu kemerdekaan Palestina dan merebut
kembali tanah tanah Arab yang dikuasai Israel kurang menggugah minat perjuangan
Islam kita. Kita lebih asyik masyuk dengan hal hal spekulatif dan terhadap apa
yang sudah jelas dan nyata di depan mata, kita malah tidak mengambil sikap.
Perang
melawan musuh Islam adalah suatu keniscayaan setelah upaya damai tidak dapat
ditempuh. Tetapi, mengikuti sunnah Rasul, perang tidak mungkin hanya
mengandalkan keyakinan akan pertolongan Allah. Disamping keyakinan, kita juga
harus berbekal pengetahuan. Pertolongan Allah tidak datang begitu saja tanpa
uapaya manusia. Lima puluh tahun lebih Israel mengangkangi negara negara
Arab-Islam. Dari segi kuantitas mereka jauh lebih kecil dibandingkan negara
negara Arab-Islam, tetapi dari segi kualitas mereka jauh lebih canggih. Dan
yang lebih patut diperhatikan adalah bahwa keberhasilan Yahudi menguasai
Palestina didahului dengan masa penguasaan tekonologi dan ekonomi. Begitu juga
keberhasilan Kristen menundukkan kesultanan Turki-Islam didahului dengan
kemajuan peradabannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar